Selasa, 28 Januari 2014

PAPARAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

PAPARAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
Oleh : Septian Julifar Syamsul Huda SKM

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner juga disebut penyakit arteri koroner yang merupakan problema kesehatan utama di negara maju. Penyakit jantung koroner itu sendiri merupakan penyakit yang disebabkan karena terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri menuju jantung atau terjadinya penyumbatan darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Penyumbatan ini akan berakibat pada terhambatnya supply zat makanan terutama oksigen agar jantung tetap dapat memompa darah ke seluruh tubuh tanpa henti, oleh karena itu asupan zat makanan dan oksigen dalam darahpun harus tetap lancar karena jantung bekerja keras tanpa henti meskipun saat terlelap. Ketika pembuluh darah koroner mengalami penyempitan ataupun tersumbat maka akan dipastikan pasokan darah menuju jantung menjadi terganggu dan berkurang (Polikandrioti,M., 2011).

BAB II
PERMASALAHAN

Data dari WHO, 17 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit jantung dan pembuluh darah di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya, 1,5 juta jiwa mengalami serangan jantung dan 478.000 jiwa meninggal karena penyakit jantung koroner, dan di Eropa diperhitungkan sekitar 20.000 – 40.000 jiwa dari 1 juta penduduk menderita Penyakit Jantung Koroner. Penyakit Jantung, Stroke, dan Aterosklerosis merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderia penyakit ini terus bertambah yang tidak lepas akibat dari gaya hidup yang kurang sehat (O´Flaherty,M dkk, 2012).
Data dari World Heart Federation, baik wanita maupun pria, memiliki risiko yang sama terhadap risiko penyakit jantung. Di dunia hampir sekitar 8,5 juta wanita meninggal setiap tahunnya akibat penyakit jantung. WHO dan World Heart Federation memperkirakan pada tahun 2020 kasus dan kematian akibat penyakit jantung koroner ini akan terus meningkat (O´Flaherty, M dkk, 2012).
Kasus yang terjadi di Indonesia telah terjadi pergeseran kejadian Penyakit Jantung dan pembuluh darah dari urutan ke-10 tahun 1980 menjadi urutan ke-8 tahun 1986 dan untuk saat ini menempati posisi pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Angka kematian akibat penyakit ini, Indonesia menempati ranking ke-51 di dunia dan ranking ke-18 se-Asia dengan rate 150,8 kematian per 100.000 penduduk (Anonim, 2011).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Keluhan dan Gejala Penyakit
Manifestasi klinik dari Penyakit Jantung Koroner (PJK) ada yang diikuti dengan gejala dan ada yang tidak. Pada umumnya, serangan jantung akibat PJK muncul tak terduga. Serangan bisa saja muncul ketika sedang mengendarai kendaraan, melakukan pekerjaan kantor, makan, atau bahkan ketika tidur. Di sisi lain, banyak pula gejala yang dirasakan akibat kemunculan PJK dalam tubuh, yaitu angina pectoris dan sindrom akut koroner (Harold, 1982). 
Pada kasus jantung koroner, dapat dikatakan bahwa arteriosclerosis yang menjadi penyebab dasar timbulnya penyakit ini, terlebih lagi jika terdapatnya faktor-faktor risiko tertentu yang pada akhirnya mendukung perkembangan arteriosclerosis. Terjadinya arteriosclerosis dikarenakan dinding pembuluh arteri koroner mengalami penebalan akibat penumpukan kalsium dan kolesterol sehingga lubang pembuluh arteri mengecil karena tertutup. Terjadinya arteriosclerosis menyebabkan aliran darah tersumbat yang berujung pada kerusakan pembuluh (Harold, 1982).
1.      Angina Pectoris
Pada beberapa kasus jantung koroner, gejala timbul akibat pengurangan supply darah secara bertahap dan bukan dari insiden mendadak. Dalam kasus pengurangan aliran darah secara bertahap inilah sering terjadi serangkaian rasa sakit yang disebut angina pectoris. Nyeri angina pectoris biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas yang berat karena aliran darah koroner berkurang, sedangkan kerja jantung segera melebihi batas toleransi. Nyeri biasanya dirasakan pada bagian bawah tulang dada (sternum) (Harold, 1982).
      Angina pectoris dapat muncul sebagai angina pectoris stabil (APS/stable angina) dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan Sindroma Koroner Akut atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian (Abdul, 2007).
      Angina pectoris stabil atau stable angina merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, punggung ataupun lengan, yang biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stress emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau diobati dengan Nitrogliserin.
2.      Sindrom Akut Koroner
Ketika terjadi penyumbatan secara tiba-tiba dari salah satu arteri koroner, inilah yang disebut sindrom akut koroner yang menghasilkan infark miokard. Gejala menyerang tiba-tiba. Satu menit melakukan kegiatan biasa, menit berikutnya langsung diserang rasa sakit. Dada seperti diperas dan ditekan. Seringkali sakit ini begitu hebat sehingga sulit untuk bernapas. Lemas, mual dan muntah, kulit tampak pucat merupakan beberapa gejala lain yang muncul. Nyeri biasanya berlangsung selama setengah jam atau lebih (Harold, 1982).
Angina pectoris tidak stabil (APTS, unstable angina) ditandai dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih sering. Angina yang baru timbul dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak stabil. Selain APTS, bisa pula terjadi Infark miokard akut (IMA) yaitu nyeri angina pada infark jantung akut umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Akan tetapi, infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada atau dengan rasa nyeri (Abdul, 2007).

B.     Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1.      Anamnesis
2.      Pemeriksaan fisik; misal terdapat warna kebiruan pada membran mukus sekitar mulut atau ujung jari tangan yang berhubungan dengan menurunya kadar hemoglobin dalam darah yang sekaligus mempengaruhi kadar oksigen dalam darah. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan dengan memperhatikan karakter bunyi jantung ke-1 dan ke-2. Kelainan pada bunyi jantung ini berhubungan erat dengan kelainan anatomi jantung.
3.      Laboratorium
4.      Foto torak; foto torak sangat membantu dalam menentukan posisi jantung di rongga dada. Dengan mengetahui posisi jantung, dapat diketahui apakah jantung dalam keadaan normal atau mengalami gangguan.
5.      Pemeriksaan Jantung non-invasif
a)      EKG istirahat
b)      Uji latihan jasmani (treadmill); Treadmill test lebih sensitive dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan tes pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan Angina Pektoris dan pemeriksaan ini sarananya yang mudah dan biayanya cukup terjangkau.
c)      Uji latih jasmani kombinasi pencitraan:
1.      Uji latih jasmani ekokardiografi (Stress Eko)
2.      Uji latih jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
3.      Uji latih jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
d)     Ekokardiografi istirahat
e)      Monitoring EKG ambulatoar
f)       Teknik non-invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner:
1.      Computed Tomography
2.      Magnetic Resonanse Arteriography
6.      Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner
a)      Arteriografi koroner
b)      Ultrasound intra vascular (IVUS)
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris ringan, cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi maka tindakan angiokardiografi sudah merupakan indikasi (Abdul, 2007). Angiokardiografi merupakan serangkaian tes menggunakan sinar X yang khusus diujikan sebelum melakukan operasi pintas koroner CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) (Harold, 1982).






C.     Faktor-faktor Risiko
Faktor risiko adalah suatu kondisi atau adanya suatu penyakit yang dapat menyebabkan proses penyakit timbul. Faktor risiko PJK dapat digolongkan pada dua kelompok besar, yaitu:
1.      Faktor risiko yang tidak dapat dimodfikasi atau tetap
a)      Umur
Umumnya PJK terjadi pada umur 40 tahun, akan tetapi saat ini cenderung semakin muda (35 tahun).
b)      Jenis kelamin laki-laki
Kemungkinan wanita terserang PJK 1 dibanding 7 sampai 13 terhadap laki-laki. Setelah menopause perbandingan bisa satu terhadap satu. Kemungkinan masalah hormonal dan tingginya HDL pada wanita sebelum menopause berperan.
c)      Keturunan atau genetika
Jika ada anggota keluarga yang terkena PJK pada usia yang relatif muda, yaitu dibawah 50 tahun.
2.      Faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau diubah
a)      Merokok
Penelitian di luar negeri menunjukkan laki-laki perokok akan terkena 4 kalo lipat dan pada wanita 5 kali lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Penelitian di Indonesia sendiri menunjukkan merokok merupakan faktor risiko terbanyak dibandingkan faktor risiko lainnya.
b)      Hipertensi
Sampai saat ini salah satu faktor yang sulit dikendalikan dampaknya terhadap PJK adalah hipertensi.
c)      Kelebihan lemak
Terdapat hubungan yang kuat antara kadar lemak atau gangguan perbandingan kadar lemak yang baik dan jelek terhadap timbulnya proses PJK.
d)     Kurang Bergerak
Berbagai penelitian menunjukkan orang yang kurang bergerak lebih mudah terkena PJK dibandingkan dengan yang aktif bergerak atau aktif bekerja fisik. Aktivitas fisik akan meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan faktor risiko koroner lainnya, seperti tekanan darah tinggi, kegemukan, dan diabetes.
e)      Diabetes Mellitus
Diabetes Meliitus merupakan salah satu faktor risiko PJK dikarenakan kadar gula yang tidak terkontrol dan kecenderungan mempunyai kadar kolesterol darah yang tinggi.
f)       Stress
(Dede, 1996).

D.    Cara Pencegahan
Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan pencegahan PJK. Pengendalian harus dimulai sedini mungkin sebelum terjadi perubahan yang irrevesible pada dinding pembuluh darah. Ini berarti pada saat berlangsungnya tumbuh kembang anak. Dua strategi utama dalam pencegahan PJK yaitu:
1.      Pendekatan populasi atau kesehatan masyarakat
Pendekatan ini melibatkan seluruh populasi dan berusaha mengubah seluruh faktor risiko dari populasi tersebut melalui gaya hidup yang sesuai dan sehat seperti :
a)      Menghilangkan kebiasaan merokok
b)      Mendiagnosis dan mengkontrol hipertensi
c)      Mendiagnosis dan mengkontrol hiperbetalipoproteinemia
d)     Mendiagnosis dan mengkontrol diabetes mellitus
e)      Pemeliharaan berat badan ideal
f)       Melakukan aktivitas fisik secara tertur
g)      Penambahan masukan serat biji-bijian, buah-buahan dan sayur-sayuran dalam diet (vegetarian)
h)      Pengurangan masukan energi diet yang berasal dari lemak, lemak jenuh, garam, sukrosa.
2.      Pendekatan individual (anak berisiko tinggi).
Pendekatan ini ditujukan pada individu-individu dengan risiko tinggi dan dengan sasaran perubahan-perubahan tingkah laku khusus pada setiap individu untuk menurunkan PJK. Anak dan remaja dengan risiko tinggi adalah:
a)      Anak yang memiliki orangtua dengan riwayat infark miokard, kematian koroner tiba-tiba, kecelakaan cerebrovaskuler sebelum usia 50 tahun pada laki-laki atau sebelum usia 60 tahun pada wanita.
b)      Keluarga dengan hipertensi atau kadar lipid atau lipoprotein abnormal yang ekstrim (hiperlipidemia dan hiperbetalipoproteinemia familial).
c)      Anak-anak yang dideteksi dengan kadar faktor risiko PJK yang tingg, tetapi tidak mempunyai riwayat keluarga dengan PJK prematur (WHO, 2002)          

E.     Cara Pengobatan dan Perawatan
Pengobatan Penyakit Jantung Koroner dibagi dalam dua kelompok, yaitu Terapi Farmakologik dan Terapi Non Farmakologik. Kelompok obat yang sering digunakan sebagai terapi farmakologik pada pengobatan kasus Sindrom Koroner Akut (SKA), secara optimal adalah anti-iskemik, antitrombin/antikoagulan, antiplatelet, trombolitik/fibrinolitik serta obat tambahan yakni ACE-Inhibitor dan obat-obat penekan lemak. Terapi awal untuk SKA ialah pemberian aspirin, klopidogrel, dan heparin atau low molecular weight heparin (LMWH), penyekat beta, dan nitrat (Depkes, 2006).
1.      Terapi Farmakologik
a)      Terapi Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya kemungkinan yang lebih buruk, seperti infark miokard atau kematian. Salah satu contoh Terapi Anti-Iskemik yaitu nitrat. Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen. Nitrat oral dapat diberikan setelah 12 – 24 jam periode bebas nyeri. Selain itu, terdapat juga penyekat beta yang mengurangi konsumsi oksigen miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Contoh dari penyekat beta yaitu Metoprolol  25 – 50 mg oral 2 kali per hari, Propranolol  20 – 80 mg oral per hari dalam dosis terbagi, Atenolol  25 – 100 mg oral per hari. Juga terdapat Morfin yang merupakan analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti iskemik.
b)      Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan risiko kematian, Infark Miokard Akut atau Infark Miokard Akut berulang. Aspirin adalah salah satu jenis obat dalam Terapi Antitrombotik. Aspirin disarankan untuk semua pasien dengan dugaan SKA, bila tidak ditemui kontraindikasi pemberiannya. Aspirin dosis rendah bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan cara mencegah melekatnya sel-sel darah (platelet-platelet) bersama-sama. Aspirin paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung. Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin yakni obat pilihan lain dalam pengobatan SKA selain aspirin. Klopidogrel juga termasuk obat yang merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru, bekerja dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara efektif. Klopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit dari tiklopidin. Terdapat pula Obat Antitrombotik lainnya seperti Sulfinpyrazon, Dipiridamol, Prostacylin, Analog Prostacyclin, dan Antagonis GP IIb/IIIa.
c)      Terapi Antikoagulan
Di dalamnya terdapat UFH (Unftactionated Heparin) ialah suatu campuran heterogen rantai polisakarida sulfat yang panjangnya bervariasi yang dapat menghambat trombin sehingga aktivasi koagulasi menurun. Selain itu, terdapat Low Molecular Weight Heparin (LMWH) atau salah satu jenisnya yaitu Enoxaparin menjadikan suatu rekomendasi yang dapat dijadikan suatu alternatif yang baik dalam penatalaksanaan  akut  pasien unstable angina (Dasnan, 2003).
d)     Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik (dulu dinamakan trombolitik) bermanfaat pada stable angina, akan tetapi secara umum terapi ini tidak disarankan pada unstable angina.

2.      Terapi Non Farmakologik
a)      Tindakan Revaskularisasi
Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) dan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dan tindakan terkait seperti misalnya pemasangan stent, aterektomi rotablasi, dan aterektomi direksional). Pengobatan untuk jantung koroner, seperti tindakan PCI dan CABG dapat menurunkan risiko kematian dan membuat harapan hidup menjadi lebih baik. CABG disarankan pada pasien dengan anatomi koroner berisiko tinggi, seperti obstruksi  ≥ 50% pembuluh kiri atau penyakit 3-pembuluh (triple vessel disease) terutama bila fraksi ejeksi rendah (< 50%) atau ditemui diabetes mellitus.
Meta-analisis CABG dibandingkan PCI konvensional (sebelum era stent) menujukan tidak adanya perbedaan antara kedua jenis strategi pengobatan ini, tetapi pasien yang menjalani PCI lebih sering harus menjalani tindakan ulang dan lebih sering mengalami angina berulang. Dengan adanya stent. maka angina berulang dan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulangan juga menurun. Stent juga menurunkan risiko tindakan pada pasien dengan unstable angina, termasuk menurunkan risiko oklusi akut, infark jantung, kebutuhan CABG darurat dan mengurangi restenosis jangka panjang. Indikasi tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI konvensional, stent, aterektomi) banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal ventrikel kiri, pengalaman dokter (kardiolog intervensional atau dokter bedah), adanya penyakit penyerta dan pilihan pasien sendiri.

b)      Rehabilitasi
(Depkes, 2006)

F.      Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi jantung dan pencegahan sekunder adalah untuk mencegah kecacatan akibat penyakit koroner, khususnya pada orang tua dan mereka dengan pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik, dan untuk mencegah kejadian koroner selanjutnya, rawat inap berikutnya, dan kematian akibat jantung melalui program yang ditentukan olahraga dan intervensi yang dirancang untuk memodifikasi faktor risiko koroner, termasuk terapi obat. Dalam pelaksanaannya, program  rehabilitasi jantung  dikelompokkan ke dalam  beberapa  fase:
a)      Fase I adalah  upaya  yang  segera  dilakukan  disaat  pasien masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah  mengurangi  atau  menghilangkan efek  buruk dari ‘dekondisi’ akibat tirah baring lama, melakukan edukasi  dini, dan  agar  pasien  mampu  melakukan aktivitas hariannya secara mandiri dan aman (Ades, 2001).
Fase ini berlangsung kira-kira dua minggu, dimana tiga hari pertama dirawat di ruang gawat, kemudian pindah ke ruang peralihan, dan akhirnya di ruang biasa. Selama fase gawat latihan yang diberikan bersifat pasif artinya penderita melakukan gerakan atau olahraga dibantu tenaga perawat atau psikoterapi, emudian dilakukan sendiri. Setelah itu, dilatih duduk, berdiri di samping tempat tidur, kemudian berjalan di dalam kamar. Setelah itu, dilakukan tes pengukuran kemampuan jantung memakai alat Treadmill atau Ergometer yang bertujuan secara akurat kemampuan jantungnya dan sekaligus mendeteksi apakah ada bahaya yang mengancam (Dede, 1996).
b)      Fase II merupakan upaya yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari rumah sakit, yaitu program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal mungkin, segera mengontrol faktor  risiko,  edukasi, dan  konseling  tambahan mengenai gaya hidup sehat (Ades, 2001).
c)      Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan pasien tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman, dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dalam fase ini jenis rehabilitasi yang dimaksud berupa latihan fisik (Ades, 2001).
Selain fase-fase rehabilitasi di atas, yang terpenting dalam pemulihan kondisi akibat PJK adalah perubahan gaya hidup dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik, misalnya diharuskannya diet makanan rendah kalori, bagi perokok sebaiknya berhenti total dari kebiasaan merokok (Harold, 1982).

G.    Prognosis
Baik, jika pengobatan farmakologis dilakukan rutin dan sesuai aturan serta diikuti dengan perbaikan gaya hidup dan mengatasi faktor penyebab karena tidak ada satupun cara pengobatan seperti yang telah dijelaskan di atas yang sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain, tetap diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi faktor penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat (Abdul, 2007).



DAFTAR PUSTAKA

 

Ades, A. Philip. Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention of Coronary Heart Disease. The New England Journal of Medicine Vol. 345, No. 12, September 20, 2001.

Anonim. 2011. Coronary Heart Disease Death Rate Per 100,000. http://www.worldlifeexpectancy.com/asia/coronary-heart-disease-cause-of-death. Diakses pada tanggal 15 September 2012.

Depkes. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Ditjen bina kefarmasian dan alat kesehatan. Jakarta.
Ismail, Dasnan. 2003. Anticoagulant Treatment for Coronary Heart Disease. Acta Medica Indonesiana, Vol XXXV, Number 2.
Kusmana, Dede. 1996. Pencegahan dan Rehabilitasi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Kardiologi Indonesia, Vol. XXI No. 2.
Majid, Abdul. 2007. Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. USU e-Repository. Diakses pada tanggal 18 September 2012.

O, M.DO´Flaherty, M dkk. 2012. Bulletin of the World Health Organization: Potential Cardiovascular Mortality Reductions with Stricter Food Policies in the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland. http://www.who.int/bulletin/volumes/90/7/11-092643/en/. Diakses pada tanggal 15 September 2012.


Policandrioti. M,. 2011. Needs of Depressed Patients with Coronary Artery Disease. http://www.hsj.gr/volume5/issue4/540.pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2012.

Shryock, Harold, M.D,. 199. Modern Medical Guide. California.


World Health Organization. 2002. World Health Report 2002: Reducing Risk, Promoting Healthy Life. Geneva.

1 komentar: