“PAPARAN
PENYAKIT JANTUNG KORONER”
Oleh : Septian Julifar Syamsul Huda SKM
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner juga disebut
penyakit arteri koroner yang merupakan problema kesehatan utama di negara maju.
Penyakit jantung koroner itu sendiri merupakan penyakit yang disebabkan karena
terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri menuju jantung atau terjadinya penyumbatan
darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Penyumbatan ini akan
berakibat pada terhambatnya supply zat
makanan terutama oksigen agar jantung tetap dapat memompa darah ke seluruh
tubuh tanpa henti, oleh karena itu asupan zat makanan dan oksigen dalam
darahpun harus tetap lancar karena jantung bekerja keras tanpa henti meskipun
saat terlelap. Ketika pembuluh darah koroner mengalami penyempitan ataupun
tersumbat maka akan dipastikan pasokan darah menuju jantung menjadi terganggu
dan berkurang (Polikandrioti,M., 2011).
BAB II
PERMASALAHAN
Data dari WHO, 17 juta orang meninggal
setiap tahun karena penyakit jantung dan pembuluh darah di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, setiap tahunnya, 1,5 juta jiwa mengalami serangan jantung dan 478.000
jiwa meninggal karena penyakit jantung koroner, dan di Eropa diperhitungkan
sekitar 20.000 – 40.000 jiwa dari 1 juta penduduk menderita Penyakit Jantung
Koroner. Penyakit Jantung, Stroke, dan Aterosklerosis merupakan penyakit yang
mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderia penyakit ini terus bertambah yang
tidak lepas akibat dari gaya hidup yang kurang sehat (O´Flaherty,M dkk, 2012).
Data dari World Heart Federation, baik wanita maupun pria, memiliki risiko
yang sama terhadap risiko penyakit jantung. Di dunia hampir sekitar 8,5 juta
wanita meninggal setiap tahunnya akibat penyakit jantung. WHO dan World Heart Federation memperkirakan
pada tahun 2020 kasus dan kematian akibat penyakit jantung koroner ini akan
terus meningkat (O´Flaherty, M dkk, 2012).
Kasus yang terjadi di Indonesia telah
terjadi pergeseran kejadian Penyakit Jantung dan pembuluh darah dari urutan
ke-10 tahun 1980 menjadi urutan ke-8 tahun 1986 dan untuk saat ini menempati
posisi pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Angka kematian akibat
penyakit ini, Indonesia menempati ranking ke-51 di dunia dan ranking ke-18
se-Asia dengan rate 150,8 kematian
per 100.000 penduduk (Anonim, 2011).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keluhan
dan Gejala Penyakit
Manifestasi
klinik dari Penyakit Jantung Koroner (PJK) ada yang diikuti dengan gejala dan ada
yang tidak. Pada umumnya, serangan jantung akibat PJK muncul tak terduga.
Serangan bisa saja muncul ketika sedang mengendarai kendaraan, melakukan
pekerjaan kantor, makan, atau bahkan ketika tidur. Di sisi lain, banyak pula gejala
yang dirasakan akibat kemunculan PJK dalam tubuh, yaitu angina pectoris dan
sindrom akut koroner (Harold, 1982).
Pada
kasus jantung koroner, dapat dikatakan bahwa arteriosclerosis yang menjadi
penyebab dasar timbulnya penyakit ini, terlebih lagi jika terdapatnya
faktor-faktor risiko tertentu yang pada akhirnya mendukung perkembangan
arteriosclerosis. Terjadinya arteriosclerosis dikarenakan dinding pembuluh
arteri koroner mengalami penebalan akibat penumpukan kalsium dan kolesterol
sehingga lubang pembuluh arteri mengecil karena tertutup. Terjadinya
arteriosclerosis menyebabkan aliran darah tersumbat yang berujung pada
kerusakan pembuluh (Harold, 1982).
1. Angina
Pectoris
Pada beberapa kasus
jantung koroner, gejala timbul akibat pengurangan supply darah secara bertahap dan bukan dari insiden mendadak. Dalam
kasus pengurangan aliran darah secara bertahap inilah sering terjadi
serangkaian rasa sakit yang disebut angina pectoris. Nyeri angina pectoris
biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas yang berat karena aliran darah
koroner berkurang, sedangkan kerja jantung segera melebihi batas toleransi.
Nyeri biasanya dirasakan pada bagian bawah tulang dada (sternum) (Harold, 1982).
Angina pectoris dapat muncul sebagai angina pectoris stabil
(APS/stable angina) dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan
menimbulkan Sindroma Koroner Akut atau yang dikenal sebagai serangan jantung
mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian (Abdul, 2007).
Angina pectoris stabil atau stable
angina merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada,
rahang, bahu, punggung ataupun lengan, yang biasanya dicetuskan oleh kerja
fisik atau stress emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau
diobati dengan Nitrogliserin.
2. Sindrom
Akut Koroner
Ketika
terjadi penyumbatan secara tiba-tiba dari salah satu arteri koroner, inilah
yang disebut sindrom akut koroner yang menghasilkan infark miokard. Gejala
menyerang tiba-tiba. Satu menit melakukan kegiatan biasa, menit berikutnya
langsung diserang rasa sakit. Dada seperti diperas dan ditekan. Seringkali
sakit ini begitu hebat sehingga sulit untuk bernapas. Lemas, mual dan muntah,
kulit tampak pucat merupakan beberapa gejala lain yang muncul. Nyeri biasanya
berlangsung selama setengah jam atau lebih (Harold, 1982).
Angina
pectoris tidak stabil (APTS, unstable
angina) ditandai dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih sering. Angina yang
baru timbul dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam
angina tak stabil. Selain APTS, bisa pula terjadi Infark miokard akut (IMA)
yaitu nyeri angina pada infark jantung akut umumnya lebih berat dan lebih lama
(30 menit atau lebih). Akan tetapi, infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri
dada atau dengan rasa nyeri (Abdul, 2007).
B. Pemeriksaan
Penunjang Diagnostik
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan
fisik; misal terdapat warna kebiruan pada membran mukus sekitar mulut atau
ujung jari tangan yang berhubungan dengan menurunya kadar hemoglobin dalam
darah yang sekaligus mempengaruhi kadar oksigen dalam darah. Selanjutnya dapat
dilakukan pemeriksaan dengan memperhatikan karakter bunyi jantung ke-1 dan
ke-2. Kelainan pada bunyi jantung ini berhubungan erat dengan kelainan anatomi
jantung.
3. Laboratorium
4. Foto
torak; foto torak sangat membantu dalam menentukan posisi jantung di rongga
dada. Dengan mengetahui posisi jantung, dapat diketahui apakah jantung dalam
keadaan normal atau mengalami gangguan.
5. Pemeriksaan
Jantung non-invasif
a) EKG
istirahat
b)
Uji latihan jasmani (treadmill); Treadmill test lebih sensitive dan
spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan tes pilihan untuk
mendeteksi pasien dengan kemungkinan Angina Pektoris dan pemeriksaan ini
sarananya yang mudah dan biayanya cukup terjangkau.
c) Uji
latih jasmani kombinasi pencitraan:
1. Uji
latih jasmani ekokardiografi (Stress Eko)
2. Uji
latih jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
3. Uji
latih jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
d) Ekokardiografi
istirahat
e) Monitoring
EKG ambulatoar
f) Teknik
non-invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner:
1. Computed Tomography
2. Magnetic Resonanse Arteriography
6. Pemeriksaan
invasif menentukan anatomi koroner
a) Arteriografi
koroner
b) Ultrasound
intra vascular (IVUS)
Setiap
pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan faktor
risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris
ringan, cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan
yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi maka tindakan
angiokardiografi sudah merupakan indikasi (Abdul, 2007). Angiokardiografi merupakan
serangkaian tes menggunakan sinar X yang khusus diujikan sebelum melakukan
operasi pintas koroner CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) (Harold, 1982).
C. Faktor-faktor
Risiko
Faktor risiko
adalah suatu kondisi atau adanya suatu penyakit yang dapat menyebabkan proses
penyakit timbul. Faktor risiko PJK dapat digolongkan pada dua kelompok besar,
yaitu:
1. Faktor
risiko yang tidak dapat dimodfikasi atau tetap
a) Umur
Umumnya PJK terjadi pada umur 40
tahun, akan tetapi saat ini cenderung semakin muda (35 tahun).
b) Jenis
kelamin laki-laki
Kemungkinan wanita terserang PJK 1
dibanding 7 sampai 13 terhadap laki-laki. Setelah menopause perbandingan bisa satu
terhadap satu. Kemungkinan masalah hormonal dan tingginya HDL pada wanita
sebelum menopause berperan.
c) Keturunan
atau genetika
Jika ada anggota keluarga yang
terkena PJK pada usia yang relatif muda, yaitu dibawah 50 tahun.
2. Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi atau diubah
a) Merokok
Penelitian di luar negeri
menunjukkan laki-laki perokok akan terkena 4 kalo lipat dan pada wanita 5 kali
lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Penelitian di Indonesia sendiri
menunjukkan merokok merupakan faktor risiko terbanyak dibandingkan faktor
risiko lainnya.
b) Hipertensi
Sampai saat ini salah satu faktor
yang sulit dikendalikan dampaknya terhadap PJK adalah hipertensi.
c) Kelebihan
lemak
Terdapat hubungan yang kuat antara
kadar lemak atau gangguan perbandingan kadar lemak yang baik dan jelek terhadap
timbulnya proses PJK.
d) Kurang
Bergerak
Berbagai penelitian menunjukkan
orang yang kurang bergerak lebih mudah terkena PJK dibandingkan dengan yang aktif
bergerak atau aktif bekerja fisik. Aktivitas fisik akan meningkatkan kolesterol
HDL dan menurunkan faktor risiko koroner lainnya, seperti tekanan darah tinggi,
kegemukan, dan diabetes.
e) Diabetes
Mellitus
Diabetes Meliitus merupakan salah
satu faktor risiko PJK dikarenakan kadar gula yang tidak terkontrol dan kecenderungan
mempunyai kadar kolesterol darah yang tinggi.
f) Stress
(Dede, 1996).
D. Cara
Pencegahan
Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular dihubungkan
dengan pencegahan PJK. Pengendalian harus dimulai sedini mungkin sebelum
terjadi perubahan yang irrevesible
pada dinding pembuluh darah. Ini berarti pada saat berlangsungnya tumbuh
kembang anak. Dua strategi utama dalam pencegahan PJK yaitu:
1. Pendekatan
populasi atau kesehatan masyarakat
Pendekatan ini
melibatkan seluruh populasi dan berusaha mengubah seluruh faktor risiko dari
populasi tersebut melalui gaya hidup yang sesuai dan sehat seperti :
a) Menghilangkan
kebiasaan merokok
b) Mendiagnosis
dan mengkontrol hipertensi
c) Mendiagnosis
dan mengkontrol hiperbetalipoproteinemia
d) Mendiagnosis
dan mengkontrol diabetes mellitus
e) Pemeliharaan
berat badan ideal
f) Melakukan
aktivitas fisik secara tertur
g) Penambahan
masukan serat biji-bijian, buah-buahan dan sayur-sayuran dalam diet (vegetarian)
h) Pengurangan
masukan energi diet yang berasal dari lemak, lemak jenuh, garam, sukrosa.
2. Pendekatan
individual (anak berisiko tinggi).
Pendekatan ini
ditujukan pada individu-individu dengan risiko tinggi dan dengan sasaran
perubahan-perubahan tingkah laku khusus pada setiap individu untuk menurunkan
PJK. Anak dan remaja dengan risiko tinggi adalah:
a) Anak
yang memiliki orangtua dengan riwayat infark miokard, kematian koroner
tiba-tiba, kecelakaan cerebrovaskuler sebelum usia 50 tahun pada laki-laki atau
sebelum usia 60 tahun pada wanita.
b) Keluarga
dengan hipertensi atau kadar lipid atau lipoprotein abnormal yang ekstrim
(hiperlipidemia dan hiperbetalipoproteinemia familial).
c) Anak-anak
yang dideteksi dengan kadar faktor risiko PJK yang tingg, tetapi tidak
mempunyai riwayat keluarga dengan PJK prematur (WHO, 2002)
E. Cara
Pengobatan dan Perawatan
Pengobatan Penyakit Jantung Koroner dibagi dalam dua
kelompok, yaitu Terapi Farmakologik dan Terapi Non Farmakologik. Kelompok obat
yang sering digunakan sebagai terapi farmakologik pada pengobatan kasus Sindrom
Koroner Akut (SKA), secara optimal adalah anti-iskemik,
antitrombin/antikoagulan, antiplatelet, trombolitik/fibrinolitik serta obat
tambahan yakni ACE-Inhibitor dan obat-obat penekan lemak. Terapi awal untuk SKA
ialah pemberian aspirin, klopidogrel, dan heparin atau low molecular weight
heparin (LMWH), penyekat beta, dan nitrat (Depkes, 2006).
1. Terapi
Farmakologik
a) Terapi
Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah
untuk mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya kemungkinan yang lebih buruk,
seperti infark miokard atau kematian. Salah satu contoh Terapi Anti-Iskemik
yaitu nitrat. Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai
oksigen. Nitrat oral dapat diberikan setelah 12 – 24 jam periode bebas nyeri.
Selain itu, terdapat juga penyekat beta yang mengurangi konsumsi oksigen
miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju
sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Contoh dari penyekat beta yaitu
Metoprolol 25 – 50 mg oral 2 kali per
hari, Propranolol 20 – 80 mg oral per
hari dalam dosis terbagi, Atenolol 25 –
100 mg oral per hari. Juga terdapat Morfin yang merupakan analgetik dan
anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik. Obat ini direkomendasikan
pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti
iskemik.
b) Terapi
Antitrombotik
Terapi antitrombotik
sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan risiko kematian, Infark
Miokard Akut atau Infark Miokard Akut berulang. Aspirin adalah salah satu jenis
obat dalam Terapi Antitrombotik. Aspirin disarankan untuk semua pasien dengan
dugaan SKA, bila tidak ditemui kontraindikasi pemberiannya. Aspirin dosis
rendah bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan cara
mencegah melekatnya sel-sel darah (platelet-platelet) bersama-sama. Aspirin
paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung.
Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin yakni obat pilihan lain dalam
pengobatan SKA selain aspirin. Klopidogrel juga termasuk obat yang merupakan
derivat tienopiridin yang lebih baru, bekerja dengan menekan aktivitas kompleks
glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara
efektif. Klopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit dari tiklopidin.
Terdapat pula Obat Antitrombotik lainnya seperti Sulfinpyrazon, Dipiridamol,
Prostacylin, Analog Prostacyclin, dan Antagonis GP IIb/IIIa.
c) Terapi
Antikoagulan
Di dalamnya terdapat
UFH (Unftactionated Heparin) ialah suatu campuran heterogen rantai polisakarida
sulfat yang panjangnya bervariasi yang dapat menghambat trombin sehingga
aktivasi koagulasi menurun. Selain itu, terdapat Low Molecular Weight Heparin
(LMWH) atau salah satu jenisnya yaitu Enoxaparin menjadikan suatu rekomendasi
yang dapat dijadikan suatu alternatif yang baik dalam penatalaksanaan akut
pasien unstable angina (Dasnan, 2003).
d) Terapi
Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik
(dulu dinamakan trombolitik) bermanfaat pada stable angina, akan tetapi secara umum terapi ini tidak disarankan
pada unstable angina.
2. Terapi
Non Farmakologik
a) Tindakan
Revaskularisasi
Termasuk
di sini yaitu operasi pintas koroner CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) dan
PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dan tindakan terkait seperti misalnya
pemasangan stent, aterektomi rotablasi, dan aterektomi direksional). Pengobatan
untuk jantung koroner, seperti tindakan PCI dan CABG dapat menurunkan risiko
kematian dan membuat harapan hidup menjadi lebih baik. CABG disarankan pada
pasien dengan anatomi koroner berisiko tinggi, seperti obstruksi ≥ 50% pembuluh kiri atau penyakit 3-pembuluh
(triple vessel disease) terutama bila fraksi ejeksi rendah (< 50%) atau
ditemui diabetes mellitus.
Meta-analisis
CABG dibandingkan PCI konvensional (sebelum era stent) menujukan tidak adanya
perbedaan antara kedua jenis strategi pengobatan ini, tetapi pasien yang
menjalani PCI lebih sering harus menjalani tindakan ulang dan lebih sering
mengalami angina berulang. Dengan adanya stent. maka angina berulang dan
kebutuhan tindakan revaskularisasi ulangan juga menurun. Stent juga menurunkan
risiko tindakan pada pasien dengan unstable
angina, termasuk menurunkan risiko oklusi akut, infark jantung, kebutuhan CABG
darurat dan mengurangi restenosis jangka panjang. Indikasi
tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI konvensional, stent, aterektomi)
banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal ventrikel kiri, pengalaman
dokter (kardiolog intervensional atau dokter bedah), adanya penyakit penyerta
dan pilihan pasien sendiri.
b) Rehabilitasi
(Depkes, 2006)
F. Rehabilitasi
Tujuan
rehabilitasi jantung dan pencegahan sekunder adalah
untuk mencegah kecacatan akibat penyakit koroner, khususnya pada orang tua dan mereka dengan pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik, dan untuk mencegah kejadian koroner selanjutnya, rawat inap berikutnya, dan kematian akibat jantung melalui program yang ditentukan olahraga dan intervensi yang dirancang untuk memodifikasi faktor risiko koroner, termasuk terapi obat. Dalam
pelaksanaannya, program rehabilitasi
jantung dikelompokkan ke dalam beberapa
fase:
a) Fase
I adalah upaya yang
segera dilakukan disaat
pasien masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah mengurangi
atau menghilangkan efek buruk dari ‘dekondisi’ akibat tirah baring
lama, melakukan edukasi dini, dan agar
pasien mampu melakukan aktivitas hariannya secara mandiri
dan aman (Ades, 2001).
Fase ini
berlangsung kira-kira dua minggu, dimana tiga hari pertama dirawat di ruang
gawat, kemudian pindah ke ruang peralihan, dan akhirnya di ruang biasa. Selama
fase gawat latihan yang diberikan bersifat pasif artinya penderita melakukan
gerakan atau olahraga dibantu tenaga perawat atau psikoterapi, emudian
dilakukan sendiri. Setelah itu, dilatih duduk, berdiri di samping tempat tidur,
kemudian berjalan di dalam kamar. Setelah itu, dilakukan tes pengukuran
kemampuan jantung memakai alat Treadmill atau Ergometer yang bertujuan secara
akurat kemampuan jantungnya dan sekaligus mendeteksi apakah ada bahaya yang
mengancam (Dede, 1996).
b) Fase
II merupakan upaya yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari rumah
sakit, yaitu program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor
risiko, edukasi, dan konseling
tambahan mengenai gaya hidup sehat (Ades, 2001).
c) Fase
III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan pasien tersebut telah
mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman, dan mempertahankan
pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Dalam fase ini jenis rehabilitasi yang dimaksud berupa
latihan fisik (Ades, 2001).
Selain fase-fase
rehabilitasi di atas, yang terpenting dalam pemulihan kondisi akibat PJK adalah
perubahan gaya hidup dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik, misalnya
diharuskannya diet makanan rendah kalori, bagi perokok sebaiknya berhenti total
dari kebiasaan merokok (Harold, 1982).
G.
Prognosis
Baik, jika pengobatan farmakologis dilakukan rutin
dan sesuai aturan serta diikuti dengan perbaikan gaya hidup dan mengatasi
faktor penyebab karena tidak ada satupun cara pengobatan seperti yang telah
dijelaskan di atas yang sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain, tetap
diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi faktor penyebab agar progresi
penyakit dapat dihambat (Abdul, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Ades, A. Philip. Cardiac Rehabilitation and Secondary
Prevention of Coronary Heart Disease. The New England Journal of Medicine Vol.
345, No. 12, September 20, 2001.
Anonim. 2011. Coronary
Heart Disease Death Rate Per 100,000. http://www.worldlifeexpectancy.com/asia/coronary-heart-disease-cause-of-death. Diakses
pada tanggal 15 September 2012.
Depkes.
2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Ditjen bina kefarmasian
dan alat kesehatan. Jakarta.
Ismail,
Dasnan. 2003. Anticoagulant Treatment for
Coronary Heart Disease. Acta Medica Indonesiana, Vol XXXV, Number 2.
Kusmana,
Dede. 1996. Pencegahan dan Rehabilitasi
Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Kardiologi Indonesia, Vol. XXI No. 2.
Majid,
Abdul. 2007. Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. USU
e-Repository. Diakses pada tanggal 18 September 2012.
O, M.DO´Flaherty, M dkk. 2012.
Bulletin of the World Health Organization: Potential
Cardiovascular Mortality Reductions with Stricter Food Policies in the United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland. http://www.who.int/bulletin/volumes/90/7/11-092643/en/.
Diakses pada tanggal 15 September 2012.
Policandrioti.
M,. 2011. Needs of Depressed Patients with Coronary Artery Disease. http://www.hsj.gr/volume5/issue4/540.pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2012.
Shryock, Harold, M.D,. 199. Modern Medical Guide. California.
World
Health Organization. 2002. World Health
Report 2002: Reducing Risk, Promoting Healthy Life. Geneva.
Biar ga kena PJK konsumsi omega 3 nature epa gan
BalasHapus