Selasa, 28 Januari 2014

FACTORS ASSOCIATED WITH ADHERENCE TREATMENT OF TUBERCULOSIS SUFFERER. (STUDY IN THE PUBLIC HEALTH’S CENTER KEMBARAN II, BANYUMAS RESIDENCE)

 IN THE PUBLIC HEALTH’S CENTER KEMBARAN II, BANYUMAS RESIDENCE)

Septian Julifar S.H1, Dwi Sarwani S.R2, Elviera Gamelia3
Alumni Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed1
Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed2
Jurusan Ilmu Gizi FKIK Unsoed3

Abstract
Tuberculosis is an infected disease cause by Mycobacterium tuberculosis. Indonesia was ranked the fourth largest incident tuberculosis cases in the world. Pulmonary tuberculosis control that one was efforts the  treatment done during 6 months. The process of treatment needs adherence for successful the treatment. There are so many cases about not successful tuberculosis treatment found and that cause by adherence treatment of tuberculosis. The purpose of this study was to determine the factors associated with adherence treatment of tuberculosis in the public health’s center Kembaran II. The method used is an analytical method with a cross-sectional approach. Research sample was 42 tuberculosis sufferers during treatment period. The analysis  data used the chi-square test for univariate and bivariate analysis. Result of the research clarify that factors associated with adherence were knowledge (p=0,002), health employee roles (p=0,002), and treatment observed roles (p=0,002). While the attitude, motivation, and affordability to health care was not shown to be associated with adherence treatment of tuberculosis. The suggestion from this research is to increase the adherence by gave the illumination, gave the information and special noticed from the health employee to the tuberculosis sufferer.



Keywords       : Tuberculosis, Adherence treatment, complete treatmen








PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Adnani dkk 2008). Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan melakukan upaya penanggulangan penyakit menular seperti HIV/AIDS, Malaria, dan Tuberkulosis. Penyakit Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehtan masyarakat di dunia, penyakit ini banyak menyerang kelompok usia kerja produktif, sebagian besar dari kelompok sosial ekonomi rendah (WHO, 2007).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menempati urutan kedua di dunia setelah AIDS sebagai penyebab kematian. Satu orang penderita memiliki potensi menularkan 10 hingga 15 orang dalam waktu 1 tahun. Kebanyakan kasus berada di Asia tenggara, Afrika dan Pasifik Barat (masing-masing sebanyak 35%, 30%, dan 20%) (WHO, 2012).
Indonesia saat ini berada pada rangking keempat negara dengan beban Tuberkulosis tertinggi di dunia. Menurut Riskesdas 2010 kesakitan Tuberkulosis menyebar diseluruh Indonesia. Periode Prevalence Tuberkulosis pada tahun 2009/2010 (725/100.000 penduduk). Riskesdas (2010) juga menyebutkan bahwa prevalensi  Tuberkulosis di Jawa Tengah sebesar 687/100.000 penduduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010).
Kejadian kasus penyakit Tuberkulosis sangat terkait dengan bagaimana pengobatan Tuberkulosis tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan dan anjuran yang diberikan saat pengobatan berlangsung. Menurut Innes, et All, (2006)
Pengobatan penyakit Tuberkulosis sangat erat hubungannya dengan kepatuhan pengobatan, kedua hal tersebut saling berhubungan dan berkaitan, kepatuhan seorang penderita Tuberkulosis dapat dilihat dari bagaimana ia rutin meminum obat secara teratur, memeriksakan dahak sesuai aturan yang telah dianjurkan, dan mengambil obat serta memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan setiap bulannya. Pengobatan Tuberkulosis dimonitor melalui program Direct Observe Treatment, Short-Cource (DOTS). Strategi DOTS ini merupakan usaha WHO untuk memberantas penyakit TB. Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya sistem monitoring yang baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. (Harahap F, 2008).
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas (2012) menyebutkan bahwa prevalensi BTA positif Tuberkulosis di Kabupaten Banyumas pada tahun 2012 sebesar 83/100.000 penduduk sedangkan insidensi kasus Tuberkulosis BTA positif sebesar 74,7/100.000 penduduk. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas  angka prevalensi kasus Tuberkulosis di Puskesmas II Kembaran merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 203/100.000 penduduk.
Berdasarkan pada latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis (TB)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko atau variabel bebas yang meliputi faktor predisposisi (pengetahuan, sikap dan motibasi), faktor pemungkin (Keterjangkauan jarak), faktor penguat (peran Petugas kesehatan dan peran PMO) dengan kepatuhan pengobatan tuberkulosis, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat yang sama (Notoatmodjo, 2005).
Sampel penelitian adalah 42 orang responden yaitu penderita tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan pada bulan oktober 2012 sampai maret 2013 dengan cara wawancara responden.  Analisis data secara univariat untuk mengetahui distribusi karakteristik responden, kemudian analisis data bivariat dengan uji chi square untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1.    Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata responden berumur 40,267 tahun dengan umur temuda 8 tahun dan umur tertua 80 tahun. Jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak 24 responden (57,1%). Pendidikan responden sebagian besar adalah SD yaitu sebanyak 33 responden (78,6%). Pekerjaan sebagian responden buruh yaitu buruh 12 responden (28,6%) dan Sebagian responden tidak bekerja 14 responden (33,3%). Pengetahuan responden sebagian besar baik 22 responden (52,4%), sikap responden sebagian besar baik yaitu sebanyak 22 responden (52,4%). Sebagian responden memiliki motivasi tinggi 30 responden (71,4%). Sebagian besar responden 35 responden (83,3%) menyatakan keterjangkauan jarak  mudah. Sebanyak 27 responden (64,3%) menyatakan petugas kesehatan berperan, dan 31 responden (73,8%) menyatakan PMO memiliki peran.  Sebanyak 28 orang (66,7%) patuh dalam menjalani pengobatan
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
No
Karakteristik Subjek Penelitian
Tahun
1.
Umur
a      Mean
b      Standar Deviasi
c       Minimum
d      Maksimum

40,267
19,67
7
8
No
Karakteristik Subjek Penelitian
Frekuensi
(%)
2.
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan

18
24

42,9
57,1
3.
Pendidikan
a.     SD
b.     SMP
c.     SMA

33
4
5

78,6
9,5
11,9
4.






5.


6.


7.


8.


9.


10.


11.
Pekerjaan
a.     Tidak Bekerja
b.     Buruh
c.     IRT
d.     Pegawai
e.     Petani
f.      Wiraswasta
Pengetahuan
a. Kurang baik
b. Baik
Sikap:
a.     Tidak Mendukung
b.     Mendukung
Motivasi
a.     Rendah
b.     Tinggi
Keterjangkauan Jarak
a.     Sulit
b.     Mudah
Peran Petugas Kesehatan
a.     Tidak berperan
b.     Berperan
Peran PMO
a.     Tidak Berperan
b.     Berperan
Kepatuhan
a.     Tidak Patuh
b.     Patuh

14
12
8
1
6
1

20
22

20
22

12
30

7
35

15
27

11
31

14
28

33,3
28,6
19,0
2,4
14,3
2,4

47,6
52,4

47,6
52,4

28,6
71,4

16,7
83,3

35,7
64,3

26,2
73,8

33,3
66,7

2.    Analisis Bivariat
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat
No.
Variabel
Nilai p
Keterangan
1.
Pengetahuan
0,002
Berhubungan
2.
Sikap
0,585
Tidak Berhubungan
3.
Motivasi
0,067
Tidak Berhubungan
4.
Keterjangkauan Jarak
0,197
Tidak Berhubungan
5.
Peran Petugas Kesehatan
0,002
Berhubungan
6.    
Peran PMO
0,002
Berhubungan

Tabel 2 menunjukkan ada 3 variabel yang terbukti berhubungan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis yaitu pengetahuan, peran petugas kesehatan dan peranPMO. Sedangkan sikap, motivasi dan keterjangkauan jarak terbukti tidak berhubungan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis.




B.     Pembahasan
1.    Faktor-faktor yang Terbukti Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
a.    Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0,002 hal ini menunjukkan bahwa terbukti ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dewi, G. I (2010), yang menyatakan terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB Paru di BKPM Pati dengan nilai p = 0,000 dan penderita dengan pengetahuan yang kurang memiliki peluang untuk tidak patuh minum obat sebesar 3,857 kali.
Menurut WHO (2002), Pengetahuan dapat diartikan sebagai kumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh dari proses belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan, pengetahuan tentang suatu objek dapat diperoleh dari pengalaman guru, orang tua, teman, buku dan media massa. Dapat disimpulkan dari teori tersebut  bahwa pengetahuan penderita tuberkulosis dapat menjadi guru yang baik bagi dirinya, dengan pengetahuan yang baik maka informasi yang dimiliki akan semakin banyak dan mempengaruhi kepatuhan penderita tersebut dalam menjalani pengobatan.
b.  Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0,002 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis. Peran petugas kesehatan dalam penelitian ini merupakan persepsi penderita tuberkulosis mengenai  tindakan yang dilakukan oleh seorang petugas kesehatan yang berkaitan dengan penyakit tuberkulosis yang meliputi penyuluhan dan pengobatan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Perdana (2008), yang menyatakan ada hubungan antara persepsi terhadap perawat terhadap kepatuhan berobat. Gambaran kesalahan pasien mengapa tidak datang berobat dikarenakan aspek kesalahan petugas kesehatan yang gagal meyakinkan pasien untuk berobat secara teratur sampai tuntas. Berdasarkan penelitian Atkins. S, et al (2011) di Afrika Selatan, yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien tuberkulosis adalah peran petugas kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003b), perilaku atau pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan perilaku positif terhadap pelayanan kesehatan dan penderita mau untuk kembali beobat. Perilaku yang baik oleh petugas kesehatan kepada penderita tuberkulosis misalnya, sikap ramah petugas, penderita segera diobati dan tidak menunggu lama di ruang tunggu, setiap mengambil obat diperiksa dokter, penderita dihargai datang ke pelayanan kesehatan, diberi penjelasan tentang pentingnya pengobatan yang teratur,  petugas berempati pada pasien..
c.  Hubungan Peran PMO dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0,002 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis. Hasil ini sesuai dengan penelitian Setiyowati (2004), yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara PMO dengan kepatuhan berobat pada penderita TB paru di Kabupaten Pekalongan. Penelitian Perdana (2008) juga menyatakan ada hubungan antara PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB paru.
Menurut Depkes RI, (2011). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Peran PMO sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. PMO yang ditunjuk biasanya adalah orang yang tinggal satu rumah atau orang yang tinggal dalam Dasa Wisma. Peran PMO ialah mengetahui tanda-tanda orang yang terkena tuberkulosis, memberi penyuluhan kepada penderita untuk minum obat secara teratur selama 6 bulan, mengingatkan penderita untuk menelan obat dan mengingatkan penderita untuk mengambil obat.
2.  Faktor-faktor yang Terbukti Tidak Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
a.  Hubungan Sikap dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0,585 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Dewi, G. I (2010), yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan minum obat TB Paru di BKPM Pati dengan nilai p = 0,001 dan penderita dengan sikap yang kurang atau tidak mendukung memiliki peluang untuk tidak patuh minum obat sebesar 3,444 kali.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan sikap dengan kepatuhan. Sikap seseorang dipengaruhi oleh orang lain, khususnya orang yang dianggap penting seperti orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, orang yang dianggap lebih tahu. Media massa misalnya televisi, radio, dan surat kabar juga sesuatu yang dapat mempengaruhi sikap seseorang. Media massa membawa pesan yang berisi sugesti yang dapat menjadi opini seseorang, sehingga hal itu menjadi landasan kognitif terbentuknya sikap (Isnanda, 2007).
Hasil penelitian ini menyatakan  bahwa 72,7 % responden dari 42 responden menunjukkan sikap yang mendukung kepatuhan. Sebagian responden bersikap tidak mendukung terhadap kepatuhan adalah 12 responden (60%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sikap merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi terbentuknya perilaku atau tindakan seseorang. Seseorang yang mempunyai sikap yang mendukung terhadap kesehatan akan berperilaku mendukung kesehatan yang baik pula (Notoatmodjo, 2005).

 b. Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0,067 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ivanti (2010), menunjukkan ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan berobat dengan  nilai p = 0,000,  sehingga bermakna secara statistik atau ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan kepatuhan berobat.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan motivasi dengan kepatuhan. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan (Ivanti, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 76,7% dari 42 responden memiliki motivasi tinggi dan patuh untuk menjalani pengobatan tuberkulosis. Sebagian besar responden 71,4% atau 30 responden sudah memiliki motivasi yang tinggi. Sebagian besar menyatakan motivasi timbul dari adanya dukungan keluarga sehingga mereka merasa bertanggung jawab untuk patuh dalam menjalani pengobatan tuberkulosis. Dukungan keluarga dan rasa tanggung jawab merupakan hal yang mempengaruhi motivasi (Ivanti, 2010).
c.  Hubungan Keterjangkauan Jarak dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p= 0,197, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Perdana (2008), menunjukkan ada hubungan antara jarak dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru.
Hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan keterjangkauan jarak dengan kepatuhan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa resiko untuk terjadinya drop out dan ketidakpatuhan berobat pada masyarakat yang akses fasilitas kesehatan sangat jauh dan sulit dijangkau 2 kali lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan masyarakat yang akses ke fasilitas kesehatan dekat (Depkes RI, 2011).
Hasil penelitian ini menyatakan 71,4% dari 42 responden memiliki keterjangjauan jarak yang mudah ke pelayanan kesehatan dan patuh dalam menjalani pengobatan tuberkulosis. Sebagian besar responden menyatakan keterjangkauan jarak mudah ke pelayanan kesehatan yaitu 83,3%. Sebagian besar responden menyatakan jarak bukan masalah untuk menjalani pengobatan tuberkulosis karena banyaknya alat transportasi, keadaan jalan yang mendukung, jarak rumah yang dekat, akses yang mudah ke puskesmas.
SIMPULAN DAN SARAN
A.    Simpulan
1.    Karakteristik Responden penelitian : umur rata-rata responden yaitu 40,29 tahun, 57,1 % berjenis kelamin perempuan, 78,6 % berpendidikan tamat SD, dan 33,3% tidak bekerja.
2.    Hasil analisis univariat didapat hasil :
Distribusi Responden adalah : 52,4% memiliki pengetahuan yang baik, 52,4% memiliki sikap mendukung, 71,4% memiliki motivasi yang tinggi, 83,3% memiliki keterjangkauan jarak yang mudah ke pelayanan kesehatan, 64,3% berperan petugas kesehatan, dan 73,8% PMO berperan.
3.    Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya ada hubungan antara pengetahuan, peran petugas kesehatan dan peran PMO dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis di wilayah Puskesmas II Kembaran.
4.    Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya tidak ada hubungan antara sikap, motivasi dan keterjangkauan jarak dengan kepatuhan pengobatan penderita tuberkulosis di wilayah Puskesmas II Kembaran




B.     Saran
1.    Bagi Penderita
a      Perlu ditingkatkan pengetahuan dengan cara mencari tahu informasi mengenai penyakit tuberkulosis salah satunya dengan bertanya kepada petugas kesehatan.
b      Mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan.
c      Perlu meningkatkan kesadaran pada penderita tuberkulosis untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, agar pengobatan berjalan dengan  baik dan menyeluruh.
2.    Bagi Puskesmas II Kembaran
a.    Meningkatkan kerjasama lintas sektoral dengan masyarakat dan pemerintah untuk pemberantasan penyakit tuberkulosis.
b.    Meningkatkan kualitas SDM kesehatan dengan mengirim para tenaga kesehatan yang ada di puskesmas untuk menjalani pelatihan agar informasi dapat dimengerti dan dapat menyampaikannya dengan baik kepada masyarakat.
c.    Memberi perhatian khusus kepada para penderita tuberkulosis dalam masa pengobatannya agar para penderita patuh dalam pengobatannya serta tidak terjadi drop out dan gagal pengobatan.
d.   Memberikan informasi dan perhatian lebih mengenai tuberkulosis kepada PMO agar dapat terus memberikan informasi dan mendampingi penderita dalam masa pengobatannya.
3.    Bagi peneliti lanjutan
a.    Mengingat penelitian ini bersifat cross sectional, di mana pegambilan data untuk variabel dependen dan independen pada waktu bersamaan, sehingga hubungan sebab akibat belum diketahui secara pasti. Maka untuk mendukung kesempurnaan hasil penelitian ini sebaiknya ada penelitian lain pada masa mendatang secara kohort. Dengan adanya penelitian tersebut diharapkan menghasilkan data yang lebih sempurna untuk pengembangan upaya pemberantasan penyakit TB Paru.

DAFTAR PUSTAKA
Adnani, H  dan Mahastuti A. 2008. Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten GunungKidul. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. http://skripsistikes.files?2008/08/21.pdf. Diakses 11 Mei 2013.

Atkins,  S, et Al. 2011. Lay health worker supported tuberculosis treatment adherence in South Africa: an interrupted time-series study. Health Journal http://www.id.pdfsb.com diakses 5 April 2013.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Daerah 2010 (RISKESDAS 2010). Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/downloads/TabelRiskesdas2010.pdf. Diakses tanggal 5 April 2013.

Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Ketiga. Depkes RI : Jakarta.


Dewi, G. I. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Pasien dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada  Pasien TB Paru di BPKPM Pati. Skripsi. Jurusan Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang.

Harahap F. 2008, Strateggi Penanggulangan TBC dengan DOTS.http://pulmonologi.fk.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 5 April 2013.

Innes, J.A., Reid, P.T., 2006. Tuberculosis. Respiratory Disease. Dalam: Boon N.A.,
     thed. Churchill Livingstone  Davidson’s Principle & Practice of Medicine. 20Elsevier: 695-702.

Isnanda. C. D. 2007. Hubungan Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan dalam Program Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Teladan Medan. Jurnal Kesehatan. http://www.id.pdfsb.com. diakses 5 April 2013.

Ivanti, R. 2010. Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.

Notoatmodjo. 2003b. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta.
     Jakarta.
_____________. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta.
     Jakarta.
Perdana, P. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2012.

WHO. 2002. Education For Health: Manual Of Health Education In Primary Health Care. Penerjemah: Ida Bagus Tjitsara. ITB. Bandung.
___________. 2007. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programes second edition (WHO/TB/98.240).
___________. 2012. Global Tuberculosis Control 2012. http://www.who.int/topics/ statistics/data/for/indonesia/htm. Di akses tanggal 16 Maret 2013.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar