Selasa, 28 Januari 2014

INFEKSI TORCH
(Toxoplasma, Orther disease, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus)

 


Oleh:
Septia Julifar Syamsul Huda SKM




BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, bagi masyarakat, swasta maupun pemerintah untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga merupakan Tujuan Pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs) yang dicetuskan WHO (World Health Organization) pada tahun 2000. Indonesia termasuk salah satu dari 189 negara yang menyepakati 8 (delapan) tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yang pencapaianya dicanangkan paling lambat pada tahun 2015 (Sitepu, 2011).
Indonesia menargetkan pada tahun 2015 Angka Kematian Bayi (AKB) diturunkan menjadi 170 bayi per 10.000 kelahiran. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 1997, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah 46 bayi per 1.000 kelahiran kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 35 bayi per 1.000 kelahiran. Bila dirincikan 157.000 bayi meninggal dunia pertahun atau 430 bayi meninggal per hari. Hal ini menunjukka n bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sekarang ini merupakan kematian bayi tertinggi di negara ASEAN (Sitepu, 2011).  
Penanganan kesehatan reproduksi juga dilakukan pengelolaan dan meningkatkan potensi reproduksi manusia, sehingga mengangkat kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dalam ruang lingkup kesehatan, reproduksi dapat mengalami gangguan, yang mengakibatkan kegagalan fungsi seorang wanita untuk hamil dan melahirkan bayi sehat. Salah satu dari penyebab yang mempengaruhi adalah infeksi TORCH (Toxoplasma, Orther disease, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus). Infeksi ini jika terjadi pada awal kehamilan dapat menyebabkan abortus, lahir mati, premature atau kelainan kongenital berupa hydrocephalus, mikrophtalmia, mikrosephalus, dan endophtalmia. Jika infeksi terjadi pada akhir kehamilan dapat menyebabkan retardasi mental, retinokoroiditis, dan lesi pada organ tubuh (Sitepu, 2011).
Di Indonesia sering dijumpai bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital seperti hydrocephalus, kejang, korioretinitis, hepatospenomegali dan lain-lain. Kelainan kongenital merupakan penyebab penting terjadinya abotus/keguguran, lahir mati atau kematian segera setelah lahir (perinatal). Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Kelainan kongenital pada bayi  baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau dapat pula beberapa kelainan kongenital yang terjadi secara bersamaan yang disebut kelainan kongenital multiple (Sitepu, 2011).
Data di Amerika Serikat pada tahun 2006 menyatakan 15%-30% wanita mempunyai antibodi terhadap toxoplasma. Menurut Sunaryo (2006), infeksi TORCH di Indonesia pada kehamilan menunjukkan prevalensi cukup tinggi, berkisar antara 5,5% sampai 84%. Beberapa penelitian di Indonesia memperoleh, dari ibu yang menderita Toxoplasmosis, sebanyak 56% bayi dapat menderita Toxoplasmosis kongenital bila ibu tersebut tidak diberi pengobatan selama kehamilan. Infeksi TORCH oleh Cornain dan kawan – kawan (1994) pada 67% wanita kasus infertilitas didapatka sebanyak 10,3 Toxoplasma, 13,8% positif Rubella, 13,8% positif infeksi CMV (Sitepu, 2011).
Prevalensi toxoplasmosis di Jakarta sebesar 61,6%, Bandung 74,5%, Surabaya 55,5%, Yogyakarta 55,4%, Denpasar 23,0%, dan Semarang 44,0%. Insiden kelainan bawaan di Indonesia tahun 2009 berkisar 15 per 1.000 kelahiran. Angka kejadian ini akan menjadi 4 – 5% bila bayi diikuti terus sampai berusia 1 tahun. Menurut Maryuni (2009) angka kejadian kelainan kongenital dibeberapa rumah sakit di Indonesia yaitu RSCM Jakarta tahun 1975 – 1979 sebanyak 11,61  per 1.000 kelahiran hidup dan RS Pirngadi Medan tahun 1977 – 1980 sebanyak 3,3 per 1.000 kelahiran hidup (Sitepu, 2011).
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang infeksi TORCH (Toxoplasma, Orther disease, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus).
BAB II
KASUS

A.    Toxoplasmiasis
Kasus 1
Tuan Awu berusia 32 tahun dan baru menikah dua bulan. Suatu hari penglihatannya tiba-tiba kabur sebelah, kalau dilihat kebelakang bagian dari penglihatannya yang hilang, apakah mungkin terkena katarak? Istri Tuan Awu berkata mungkin kurangan vitamin A karena Tuan Awu tidak begitu suka sayur dan jarang makan buah. Berdasarkan hasil tes darah menunjukkan tuan awu terkena toxoplasmosis, penyakit ini menyerang retina mata selain otak, retina matanya ada yang rusak.
Kasus 2
Seorang putra Ibu Koes mengalami cacat mental sedangkan anak Nyonya Ran ukuran kepalanya dua kali lebih besar atau hidrosefalus dibanding anak normal, keduanya dipastikan akibat terkena toxoplasmosis selagi hamil. Selagi hamil Ibu Koes tidak memelihara kucing, sedangkan Nyonya Ran memelihara kucing tetapi Nyonya Ran suka makan sate kambing dan selalu setengah matang.
(Krafty, 2012).

B.     Cytomegalovirus (CMV)
Kasus 3
Nyonya Citra menderita infeksi CMV sejak tiga tahun yang lalu tetapi pada saat ini infeksi tersebut belum dapat disembuhkan dan menetap sepanjang hidup dengan selogan "sekali terinfeksi tetap terinfeksi". Namun terdapat kehawatiran dari Nyonya Citra untuk diturunkan penyakit yang diderita kepada janin yang sedang dikandungnya (Suromo, 2007).
 BAB III
REVIEW

A.     Toxoplasma
Bad Obstetric History atau sejarah obstetrik yang buruk (BOH) merupakan kurang baiknya janin hasil dalam dua atau lebih berturut-turut spontan aborsi, kematian neonatal dini, bayi lahir mati, kematian janin, retardasi mental pertumbuhan intrauterin dan cacat bawaan. Penularan dari ibu melalui infeksi utero pada tahap kehamilan untuk kehamilan berulang. Infeksi TORCH (Toxoplasma, Orther disease, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus) merupaka penyebab utama BOH.
Infeksi TORCH pada wanita biasanya bersifat asimtomatik dan kronis. Kondisi sosial dan ketidakmampuan dalam bereproduksi yang dapat menyebabkan kehamilan berulang, keguguran, biaya pengobatan dan morbiditas tinggi membuat infeksi TORCH merupakan penyebab utama keprihatinan dikalangan masyarakat. Prevalensi infeksi TORCH bervariasi dari satu geografis daerah ke daerah lainnya, tes sensitif dan spesifik banyak tersedia untuk serologi diagnosis kompleks TORCH dengan uji ELISA bertujuan untuk antibodi IgM terhadap infeksi ini sangat sensitive dan spesifik.
Peranan penting dalam infeksi TORCH adalah kehamilan yang mengalami keguguran dan kejadian pada pasien dengan BOH (Bad Obstetric History). Dengan ketekunan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dapat menurunkan angencysted bentuk toxoplasma pada infeksi uteri yang kronis dan mencegah pecah pada plasent sehingga menyebabkan infeksi bayi pada trimester pertama dan sering terjadi keguguran berulang.  Dalam studi Toxoplasma gondii, dikenal istilah etiological agen dalam kehamilan terbuang sebanyak 14,66% pada ibu hamil dengan BOH. Transmisi toxoplasma terjadi selama fase akut pada ibu yang infeksi dan antibodi IgM, antibodi IgM ditemukan sebanyak 27,27% dari kasus dengan aborsi berulang.
Ebrahimpour et al. di Tabriz melaporkan anti-Toxoplasma IgG dalam 100% ibu dan neonatus. Terdapat perbedaan dari studi karena terdapat perbedaan geografis dalam prevalensi toxoplasmosis. Kaur et al di India melaporkan IgG yang positif untuk Toxoplasma gondii di 11,6% ibu dan direkomendasikan bahwa tes skrining untuk TORCH termasuk toxoplasmosis. Namun, sebuah studi Irlandia terdeteksi sangat beberapa tes positif dalam sampel disaring dan tes skrining dianggap tidak layak.
(Surpam et al, 2006).

B.     Rubella
Infeksi ini juga dikenal dengan campak jerman dan sering diderita anak-anak. Rubela yang dialami pada trimester pertama kehamilan dan 90% menyebabkan kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak Jerman.  
Ibu hamil dapat mencegahnya dengan melakukan vaksinasi rubela. Perlindungannya mencapai 100%. Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus rubella dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
(Golalipour et al, 2009).

C.    Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan keluarga Virus Herpes, Infeksi CMV disebabkan oleh Virus Cytomegalo dan virus ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Cytomegalovirus dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. 
CMV dan HSV dikenal memiliki rute intrauterin transmisi dengan signifikan mortalitas dan morbiditas. Penelitian ini menunjukkan seropositivity sebesar 5.33% untuk CMV IgM tertentu pada wanita dengan BOH. Dalam studi seropositivity lainnya dari 3% sampai 12,9% disarankan agar kehamilan dapat mengaktifkan kembali virus laten yang mengarah ke lebih lanjut reproduksi wastages. Tingkat seropositivity HSV IgM antara BOH pasien dalam penelitian kami adalah 8.66% mirip dengan apa yang telah dilaporkan sebelumnya.
(Mahalakshmi et al, 2008).

D.    Herpes Simpleks Virus
Virus herpes terdiri dari 2 jenis, yaitu herpes simplex 1 (HSV-1) dan herpes simplex virus 2 (HSV 2). Penularan biasanya terjadi pada kontak seksual pada orang dewasa. HSV 1 juga bisa ditularkan melalui kontak sosial pada masa anak-anak. Prevelansi HSV 2 lebih tinggi pada kelompok HIV positif dan mereka yang melakukan hubungan seks tanpa kondom. Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam di ganglion sistem syaraf otonom.
Bayi paling berisiko tertular herpes neonatus bila ibunya sendiri tertular herpes simpleks pada akhir masa kehamilan. Hal ini terjadi karena ibu yang baru tertular belum memiliki antibodi terhadap virus, sehingga tidak ada perlindungan untuk bayi saat lahir. Tambahan, infeksi herpes baru sering aktif, sehingga ada kemungkinan yang lebih tinggi bahwa virus akan timbul di saluran kelahiran saat melahirkan.
Berdasarkan jurnal "Possible role of TORCH agents in congenital malformations in Gorgan, northern Islamic Republic of Iran" menunjukkan bahwa tidak ada hasil yang positif untuk HSV tipe II terlihat dalam penelitian ini dibandingkan dengan Ebrahimpour tim di Tabriz, yang menunjukkan positif untuk HSV tipe I dan antibodi II IgG dalam semua (40 kasus) ibu. Perbedaan ini bisa terjadi karena metode berbeda laboratorium dan perbedaan-perbedaan sosial. Kaur et al melaporkan prevalensi 7% untuk HSV tipe II antibodi IgG di India. Perbedaan-perbedaan ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut. (Surpam et al, 2006) 
BAB IV
PEMBAHASAN

A.    Toxoplasmiasis
Pada kasus 1
Katarak kongenital merupakan katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun dan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganannya yang kurang tepat. Jika pasien positif terkena katarak kongenital maka harus segera dioperasi agar fungsi penglihatan dapat berkembang secara normal dan diikuti dengan pemasangan lensa intraokuler.
Penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada 1318 anak menghadiri sekolah untuk orang buta di India adalah kekurangan vitamin A, anomali kongenital okular, mewarisi distrofi retina dan katarak. Dalam sebuah studi oleh Angra, penyebab katarak non traumatis dalam 366 anak secara turun temurun (25%), sindrom rubella bawaan (CRS) (15%) dan belum ditentukan (51%). Dalam studi lain oleh Johar et al12, pada anak katarak non-traumatik di India bagian barat, 7,2 persen secara turun temurun, 4,6 persen karena CRS, 15 per katarak sekunder dan 73 persen yang belum ditentukan.
Persentase bayi yang menurun positif IgM selama tahun pertama kehidupan sampai pada satu tahun dan sebagian besar bayi yang IgM negative. Tidak adanya antibodi terhadap agen etiologi pada pasien katarak kongenital mungkin karena infeksi primer lensa akan berada di serat lensa sentral pada tahap ketika aparat imunologi belum mencapai kematangan untuk bereaksi terhadap virus antigen dan sistem kekebalan tubuh berkembang telah dianggap sebagai diri antigen. Pada beberapa kasus sporadis 20-23% di India terdapat toxoplasmsosis bawaan dan tidak terdapat laporan yang diterbitkan pada prevalensi pada pasien katarak kongenital. Namun, penelitian ini melaporkan deteksi DNA Toxoplasma gondii pada 32,7% dari aspirasi lensa dari pasien penderita katarak bawaan.
Antibodi IgG pada bayi baru lahir yang berasal ibu dan dapat bertahan hingga 6 bulan. Dalam studi ini sebagai antibodi untuk obat tidak dianalisis dalam serum ibu tetapi gejala klinis dengan adanya antibodi IgG terhadap Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus pada bayi tidak dapat dianalisis. Diagnosis prenatal infeksi kongenital didasarkan pada ultrasonografi, amniosentesis dan pengambilan sampel darah janin. Deteksi IgM atau IgA antibodi terhadap agen infeksi pada bayi sangat sensitif untuk diagnosis infections bawaan. Diagnosis infeksi kongenital didasarkan pada demonstrasi serologis IgM, namun antibodi IgM tidak spesifik sebagai sintesis antibodi sering tertunda dan mungkin tidak dimulai sampai beberapa bulan setelah lahir pada 25% pada situasi tertentu.
Sindrom rubella merupakan penyebab penting dari ketulian, penyakit jantung, katarak, keterbelakangan mental dan berbagai gejala sisa permanen lainnya di children. Prevalensi dari CRS pada bayi cacat bawaan adalah 12 % pada 199.125 dan bervariasi 0,6-34,5 persen selama periode 1998-200226. Beberapa studi yang dilakukan oleh Angra & Moghan menyebutkan bahwa 485 pasien katarak kongenital prevalensi katarak rubella berdasarkan serologi dan isolasi virus adalah 11,3 persen. Manifestasi dari CRS dapat dideteksi lebih awal dari kelainan jantung, gangguan pendengaran dan retardasi mental pada bayi baru lahir sehingga diagnosis dini mengarah pada pengobatan dini dan manajemen yang lebih baik dari anak-anak yang terinfeksi.
 (Mahalakshmi et al, 2008).
Pada kasus 2
Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplasma gondii. Pada manusia, infeksi toksoplasmosis selalu menghantui pada kaum wanita dan terutama ibu-ibu yang sedang hamil. Apabila infeksi toksoplasmosis terjadi secara kongeital dapat menyebabkan akibat pada bayi berupa perkapuran, korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis, gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir dan kejang-kejang. Pada hewan, toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan abortus, kematian dini dan kelainan kongenital. Dalam hal ini, hewan memegang peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan.
Manusia dapat terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan berbagai cara. Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi toxoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.  Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit Toxoplasma gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran Toxoplasma gondii.
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii yang hidup. Infeksi dengan Toxoplasma gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi. 
(Siregar, 2012).

B.     Cytomegalovirus (CMV)
Infeksi CMV tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Masih banyak lagi infeksi organ yang disebabkan dan tuli karena CMV antara lain menyerang mata yaitu retinitis atau chorioretinitis yang dapat menyebabkan juling (strabismus), katarak, gangguan virus, dapat pula sampai timbul kebutaan. CMV juga dapat menyerang telinga, umumnya disebabkan karena infeksi kongenital dengan gejala klinik nyata sampai terjadi ketulian (sensorineural deafness) yang timbul di kemudian hari.
Deteksi Ibu dengan seronegatif 6 bulan sebelum konsepsi, pada ibu hamil berpeluang untuk terinfeksi primer saat hamil. Tes IgG perlu dilakukan sekurang-kurangnya 2 x yaitu pada 2 bulan dan 4 bulan kehamilan. Bila hasil negatif maka tindakan lanjut dapat ditunda bila didapatkan serokonversi, maka diagnosis infeksi primer ibu dan prenatal bayi dapat ditegakkan. Reinfeksi sering terjadi ketika hamil, penetapan muatan virus dapat dipakai untuk mengetahui risiko transmisi vertikal.  
CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang. Dalam waktu cepat setelah itu, ekspresi gen immediate early (IE) spesifik RNA (ribonucleic acid) atau transkrip gen alfa (α) dapat dijumpai tanpa ada sintesis protein virus de novo atau replikasi DNA virus. Ekspresi protein ini adalah esensial untuk ekspresi gen virus berikutnya yaitu gen early atau gen β yang menunjukkan transkripsi kedua dari RNA. CMV tidak menghentikan sintesis protein inang, bahkan pada awalnya meningkatkan sintesis protein inang. Hal ini menunjukkan bahwa replikasi dan perakitan CMV, tergantung dari beberapa enzim inang.
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi melalui beberapa tempat, ekskresi menetap beberapa minggu, bulan, bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi pelepasan virus lagi sampai bertahun-tahun. Infeksi ulang juga dapat terjadi eksogen dengan strain lain dari CMV.
Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan menetap sepanjang hidup. Virus hidup dormant dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti common cold. Namun, infeksi yang bersifat ringan ini bukan berarti diam dalam sepanjang kehidupan individu. Reaktivasi dapat terjadi berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah infeksi primer, dan sering terjadi reinfeksi endogen, karena ada replikasi virus. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu aktivasi atau pembentukannya akibat infeksi CMV. 
Lokasi hidup virus pada infeksi CMV yang berjalan laten, sukar diketahui. CMV dapat hidup di dalam bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T ( CD4+ , CD8+ ), limfosit B, sel progenitor granulosit-monosit dan lainlain. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan dalam saliva , air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama.
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk meniadakan atau eliminasi virus yang telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik (imunokompeten), infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit dapat menjadi berat bila individu berada dalam keadaan immature (belum matang), immunosuppressed (respons imun tertekan) atau immunocompromised (respons imun lemah),termasuk ibu hamil dan neonatus,21 penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang menderita penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang tertekan atau lemah, tidak atau kurang atau belum mampu membangun respons baik seluler maupun humoral yang efektif, sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat, bahkan fatal. Respons seperti ini timbul lebih cepat pada infeksi sekunder atau infeksi ulang.
      (Suromo, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Golalipour,1 B. Khodabakhshi 2 and E. Ghaemi. 2009. Possible Role of TORCH Agents in Congenital Malformations in Gorgan, Northern Islamic Republic of Iran. La Revue de Santé de la Méditerranée orientale, Volume 15, No 2 2009.
Krafty, kitty. 2012. Toxoplasmosis: Bayi Cacat, Mata Rabun, dan Sate Setengah Matang. http://kittykrafty.com/toxoplasmosis-bayi-cacat-mata-rabun-dan-sate-setengah-matang/. Diakses pada tanggal 9 April 2013.
Mahalakshmi, K. Lily Therese, U. Devipriya, V. Pushpalatha, S. Margarita & H.N. Madhavan. 2008. Infectious Aetiology of Congenital Cataract Based on TORCHES Screening in a Tertiary Eye Hospital in Chennai, Tamil Nadu, India.  Journal of  Medical Research 131 page 559-564.
MS Sadik,  Fatima, K Jamil, C Patil. 2012. Study of TORCH Profile in Patients with Bad Obstetric History. Research Article Biology and Medicine, Volume 4 Issue 2 page  95-101 ISSN: 09748369. 
Rajendra B Surpam, Usha P Kamlakar, RK Khadse, MS Qazi, Suresh V Jalgaonkar. 2006. Serological Study for TORCH Infections in Women with Bad Obstetric History. J Obstet Gynecol India Vol. 56, No. 1 : January-February 2006 Page 41-43.
Siregar, Rika Yuniar. 2012. Gambaran Kejadian Toxoplasmosis di Yogyakarta. Buletin Laboratorium Veteriner Vol : 12 No : 2 Tahun 2012.
Sitepu, Vilino Melda.2011Karakteristik Penderita Hydrochepalus Rawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2009.FKM USU.Medan
Suromo, lisyani Budipradigdo. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Pidato Pengukuhan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.








1 komentar:

  1. misi kak, mau tanya. saya akan membuat skripsi tentang tokso, dimanakah saya bisa mendapatkan data - data kasusnya?

    BalasHapus