PENGARUH
CACING TANAH TERHADAP KUALITAS LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DALAM KAMPUS UNIVERSITAS
RIAU, PEKANBARU
TUGAS METODE
PENELITIAN

OLEH
SEPTIAN JULIFAR SYAMSUL HUDA
NIM.
1410245993
PROGRAM
STUDI ILMU LINGKUNGAN
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS
RIAU
PEKANBARU
2015
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cacing tanah merupakan salah satu kelompok makrofauna
tanah yang sering disebut ecosystem
engineer (perekayasa lingkungan) atau soil engineer (perekayasa tanah) (Guild 1955). Hal ini dikarenakan
aktifitas fauna ini dapat mempengaruhi struktur fisik maupun karakteristik
kimiawi dan biologis tanah. Secara umum keberadaan cacing tanah sering
digunakan sebagai bioindikator dari kesehatan dan kesuburan tanah. Selain itu,
cacing tanah mampu mengkonsumsi bahan organik tanah sehingga dapat membantu proses
dekomposisi.
Aktifitas cacing tanah secara umum terbagi dua, yaitu
membuat liang dan memproduksi kascing. Aktifitas membuat liang membentuk pori
pada tanah (makropori/biopori). Ukuran dari pori yang terbentuk berbeda-beda
sesuai dengan ukuran (diameter tubuh) cacing tanah yang melaluinya. Biopori
memiliki beberapa manfaat yaitu meningkatkan porositas tanah dan peresapan air
kedalam tanah sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya banjir. Kascing atau “cast cacing” merupakan agregat tanah
yang tidak lain adalah kotoran (feses)
cacing tanah. Kehadiran cacing tanah dapat dengan mudah dilihat dari adanya
kascing yang terdapat di permukaan tanah (Anas 1990). Sebagai agregat tanah, kascing
memiliki kestabilan yang jauh lebih tinggi dibanding agregat tanah biasa,
artinya tidak mudah terburai dalam air (Simanjuntak 2004). Hal ini menyebabkan
kascing dapat membantu mencegah terhanyutnya sedimen oleh aliran air permukaan
(runoff) (Simanjuntak 2004). Selain
itu, kascing memiliki kandungan yang kaya akan unsur-unsur hara yang telah mengalami
mineralisasi seperti N, P, K sehingga dapat membantu meningkatkan kesuburan
tanah (Hanafiah 2002).
Porositas dan kesuburan tanah merupakan dua hal
penting dalam ruang terbuka hijau (RTH) di lingkungan perkotaan. Hal ini
dikarenakan diantara tujuan utama pengalokasian lahan untuk RTH adalah sebagai
ruang peresapan dan konservasi air serta sebagai ruang bagi tumbuhnya vegetasi,
baik secara alamiah maupun ditanam. Tujuan ini dapat dicapai apabila porositas
tanah pada lahan RTH cukup tinggi sehingga mampu meresapkan air dengan baik
(Hakim 2010), sementara pertumbuhan vegetasi pada lahan ini akan optimal
apabila tanah yang ada cukup subur (Hakim 2010). Dalam hal ini, cacing tanah
sebagai soil
engineer (perekayasa
tanah) memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas RTH dengan cara
meningkatkan kualitas peresapan air melalui aktifitas membuat liang dan
membantu penyediaan unsur-unsur hara secara alamiah melalui produksi kascingnya
(Barley 1958).
1.2. Rumusan Masalah
Aktifitas cacing tanah pada lahan RTH pada dasarnya tergantung seberapa
melimpah dan tersebarnya cacing tanah yang ada. Kedua hal ini sendiri
diduga sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain jenis vegetasi penutup tanah (Edwards & Lofty 1977).
Dalam hal ini, tanah yang terlindungi pepohonan kemungkinan memiliki kelimpahan
cacing tanah yang berbeda dari tanah yang hanya tertutupi rumput.
Karakteristik vegetasi penutup tanah merupakan salah satu faktor
terpenting yang mempengaruhi iklim mikro pada permukaan tanah (Rusell 1999). Hal
ini akan mempengaruhi kondisi di bawah permukaan tanah, seperti ketersediaan
humus dan penggunaan ruang untuk perakaran serta retensi kelembaban dan suhu
tanah (Rusel 1991). Semua ini merupakan faktor-faktor penting yang umumnya
berpengaruh terhadap cacing tanah (Wallwork 2001). Dengan demikian, kondisi
penutupan lahan RTH oleh vegetasi diduga memiliki dampak penting bagi aktifitas
cacing tanah yang ada.
1.3. Tujuan Penelitian
Kampus Universitas Riau pada dasarnya merupakan salah satu RTH
terpenting di Kota Pekanbaru (Muhammad 2012). Di dalam kampus ini dapat
dijumpai berbagai kondisi penutupan lahan, seperti yang berupa rerumputan,
semak, pohon-pohon tunggal dan pepohonan. Oleh karenanya dengan mengacu rumusan
masalah di atas telah ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1.
Mengetahui pengaruh jenis tutupan vegetasi di lingkungan Kampus
Universitas Riau terhadap aktifitas cacing tanah.
2.
Mengetahui karakteristik kimia dan fisika kascing yang dihasilkan cacing tanah pada
lahan RTH ini.
3.
Menaksir
sumbangan cacing tanah terhadap hara tanah berdasarkan perbandingan hara antara
kascing dengan tanah dan sumbangan terhadap porositas tanah berdasarkan volume
kascing yang dihasilkan.
1.4.
Manfaat penelian
Hasil
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai jenis tutupan vegetasi
yang baik untuk ditaman pada kawasan RTH perkotaan guna mendukung konservasi air dan tanah, serta
menjaga keberlangsungan ekosistem dikawasan perkotaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan tidak
bertulang belakang (Invertebrata) yang
digolongkan ke dalam filum Annelida,
kelas Chaetopoda, dan ordo
Oligochaeta yang hidup dalam tanah. Penggolongan
ini didasarkan pada bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun atas
segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus) (Minnich 1977). Berdasarkan
jenis habitatnya, ordo Oligochaeta terbagi menjadi dua jenis yaitu Oligochaeta
terestrial dengan ukuran tubuh lebih besar atau disebut juga Megadrila yang memiliki 10 familia dan Oligochaeta akuatik memiliki ukuran yang lebih kecil atau
disebut juga Microdrila yang memiliki 7 familia. Cacing tanah
kelompok Megadrila inilah yang sering dijumpai di tanah lapang (Hanafiah et al.
2010). Sementara itu, berdasarkan hasil
survei Blakemore (2008) di Indonesia ditemukan sekitar 7 familia dan 27 genus cacing dari kelompok ini.
Secara morfologis
tubuh cacing tanah terbagi menjadi lima bagian, yakni bagian depan (anterior), bagian tengah, bagian
belakang (posterior), bagian
punggung (dorsal), dan bagian
bawah atau perut (vertal)
(Minnich 1977). Cacing tanah bersifat “hemaphrodite biparental” yang artinya,
cacing tanah memiliki dua jenis alat reproduksi sekaligus, yakni jantan dan
betina. Namun, untuk menghasilkan keturunan, mereka harus melakukan perkawinan
dengan cacing dewasa lainnya (Minnich 1977). Ciri-ciri cacing tanah dewasa dan
siap melakukan perkawinan adalah berumur diatas 2,5 bulan dan sudah terbentuk klitelum
(Minnich 1977).
2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Kehadiran dan Kelimpahan Cacing tanah
Keberadaan cacing tanah pada suatu lahan sangat erat
kaitannya dengan karakter dari lahan tersebut. Faktor-faktor penting yang
mempengaruhi kehadiran dan kelimpahan cacing tanah yaitu keasaman (pH),
kelembaban, bahan organik, dan, serta jenis tanah. (Hanafiah et al. 2010).
Keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan
aktifitas cacing tanah sehingga dapat menjadi factor pembatas penyebaran dan speciesnya.
Umumnya cacing tanah cumbuh baik pada pH sekitar 7,0. (Hanafiah 2002)
Sekitar
75%-90% bobot cacing tanah hidup adalah air (Grant cit. Anas 1990) sehingga dehidrasi (pengeringan) merupakan hal
sangat menentukan bagi cacing tanah. Untuk itu cacing tanah memerlukan kadar
air yang sesuai dengan hidupnya. Adaptasi kadar air tanah ini bervariasi
tergantung speciesnya.
Menurut
Russel (1999) kandungan bahan
organik akan mempengaruhi
sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk
menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah. Dalam
persebarannya, cacing tanah akan cenderung mencari daerah dengan kandungan
bahan organic yang tinggi yang dapat menyokong kehidupannya.
Pada dasarnya jenis tanah erat kaitannya dengan
kandungan bahan organik tanah. Namun hal ini bukanlah satu satunya faktor
karena pada umumnya perbedaan jenis tanah akan memberikan perbedaan pula pada
karakter karakter fisika kimianya dan mempengaruhi komposisi fauna yang
menempatinya.
2.3. Aktifitas Cacing Tanah
2.3.1. Membuang liang (burrowing)
Menurut Capwiez (2000), cacing tanah dalam melakukan
aktifitas hidupnya tentu melakukan pergerakan. Pergerakan ini dapat terjadi
akibat adanya aktifitas mencari makan, mengeluarkan kascing, dan respon
terhadap rangsang. Cacing tanah umumnya lebih aktif pada malam hari. Hal ini
dikarenakan kondisi malam yang lebih nyaman bagi cacing tanah seperti suhu yang
rendah, kelembaban yang cukup dan tidak adanya sinar matahari.
Sinar matahari dalam intensitas tertentu merupakan hal
yang berbahaya bagi cacing tanah. Panas dari sinar matahari dapat merusak
kelembaban tubuh cacing tanah sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi cacing
tanah. Oleh karena itu, pada siang hari cacing tanah cenderung tidak aktif dan
berpindah ke lapisan tanah yang lebih dalam untuk menghindari suhu permukaan
tanah yang panas dan sinar matahari (Barley & Junnings 1958).
Keberadaan air merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pergerakan cacing tanah. Cacing tanah akan cenderung bergerak
mendekati tanah yang memiliki kelembaban cukup untuk mempertahankan
kelangsungannya. Apabila keadaan tanah sedang kering, maka cacing tanah akan
berdiam diri dan melingkarkan tubuh mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kelembaban dan air di dalam tubuhnya (Wallwork 2001).
2.3.2. Aktifitas makan dan produksi kascing
Cacing
tanah sangat menyukai bahan
organik tanah yang berasal dari serasah (Anwar 2009). Serasah merupakan sisa-sisa dari tumbuhan yang
telah mati seperti daun, ranting, buah dan dahan pohon yang telah mati dan
gugur ke tanah (Russel 1999). Kemampuan hewan ini dalam
mengkonsumsi
serasah ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen pada serasah (Edwards & Lofty 1977). Diketahui
bahwa cacing tanah lebih menyukai serasah yang memiliki rasio N yang lebih
tinggi dibanding C. Serasah yang memiliki kandungan N tinggi
cenderung disukai oleh dekomposer
karena lebih mudah dicerna.
Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Nilai nutrisi dapat ditentukan dari rasio C
: N, dimana nilai rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang
lebih tinggi serta kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi (Appenholf 1980).
Dalam aktifitas
produksi kascing, cacing tanah tidak bisa langsung memakan serasah. Serasah
dapat dimakan oleh cacing tanah apabila telah berubah menjadi bahan organik
tanah atau soil organic matter (som) yang
memiliki struktur lebih sederhana dan lebih lunak dibanding serasah (Anwar
2009). Bahan organik tanah ini terbentuk dari serasah yang berubah menjadi
serpihan serasah lalu menjadi bahan organik tanah akibat adanya penghancuran
fisika oleh lingkungan dan organisme lain seiring dengan berjalannya waktu.
Setelah berada dalam keadaan lunak bahan organik tersebut kemudian dimakan oleh
cacing tanah. Di dalam tubuh cacing tanah, bahan organik tersebut kemudian
dicerna. Pada pencernaan cacing tanah terdapat bakteri yang berfungsi
membantunya dalam mencerna makanan. Tanah yang telah dicerna kemudian
dikeluarkan melalui anus dalam bentuk kascing (Minnich 1977).
2.4. Dampak
Aktifitas Menggali (burrowing) terhadap
Porositas Tanah
Pergerakan cacing
di dalam tanah ini mengakibatkan terbentuknya liang-liang (Capoweiz 2000). Lubang atau
liang bekas jalan cacing tanah berada berfungsi memperbaiki aerasi dan drainase
di dalam tanah, sehingga tanah menjadi gembur (Barley & Junnings 1958). Di
samping itu, cacing tanah juga membantu pengangkutan sejumlah lapisan tanah
dari bahan organik dan memperbaiki struktur tanah (Guild 1955). Richard (1978)
menyatakan bahwa cacing tanah mampu melakukan penggalian lubang hingga kedalaman
satu meter, sehingga dapat meresapkan air dalam volume yang lebih besar, serta
mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. Dengan begitu, selain mencegah
erosi, cacing tanah juga mampu meningkatkan keersediaan air tanah (Capoweiz
2000).
2.5. Kascing dan Pengaruhnya terhadap Kesuburan
Tanah
Minnich (1977) mengungkapkan bahwa lahan pertanian
yang mengandung cacing tanah pada umumnya memang lebih subur. Sebab, tanah yang
bercampur dengan kotoran cacing memberikan manfaat bagi tanaman. Proses
pengubahan kondisi tanah dapat dijelaskan secara ilmiah. Awalnya, cacing tanah
membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau memakan langsung massa
tanah. Setelah dicerna, sisa-sisa bahan tersebut dilepaskan kembali sebagai
bahan buangan padat (kascing).
Edwards &
Lofty (1977) menyatakan bahwa sebagian
besar bahan tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk nutrisi yang mudah dimanfaatkan
oleh tanaman. Pengembalian bahan tanah ini dilakukan oleh cacing tanah melalui
produksi kascingnya. Produksi alami dari kascing cacing tanah di alam
bergantung pada spesies, musim, dan kondisi populasi yang sehat.
Kascing kaya usur hara dan keberadaannya mampu
meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P, dan K di dalam tanah (Minnich 1977).
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur pokok bagi tanaman (Hardjowigeno 1986).
2.6. Pembagian Cacing Tanah
secara Ekologi
Spesies
cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda dan menempati
relung ekologi yang berbeda. Menurut Bouche dalam
Hanifiah (2010), mengelompokkan spesies cacing tanah ke dalam tiga kategori
ekologi berdasarkan strategi mencari makanan dan membuat liang, yaitu spesies epigeic, endogeic dan anecic.
1.
Cacing tanah jenis epigeic
merupakan cacing tanah yang aktif pada permukaan tanah terutama pada lapisan
serasah. Cacing ini umumnya tidak memiliki liang. Tubuhnya berukuran kecil dan
berpigmen. Laju metabolisme dan reproduksinya tinggi. Hal itu menggambarkan
daya adaptasi yang
tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Contoh jenis cacing ini
adalah Lumbricus rubellus (Yulipriyanto
2010).
2.
Cacing tanah jenis anecic hidup di dalam sistem liang
vertikal yang lebih permanen.
Cacing
tanah jenis ini dapat di temukan di dalam liang yang dangkal atau dalam tergantung
pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya. Cacing tanah ini mengeluarkan kascing pada permukaan tanah dan
muncul di malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran, dan
bahan organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Cacing tanah anecic memiliki peran yang sangat besar
dalam dekomposisi bahan organik, siklus makan, dan pembentukan tanah (Lavelle
1999). Contoh
dari jenis aneciques ini adalah Lumbricus
terrestris (Yulipriyanto 2010).
3.
Cacing tanah endogeic merupakan jenis cacing tanah
yang berada di kedalaman sekitar 30 cm dari permukaan tanah. Cacing tanah
kelompok ini
membuat liang-liang
horizontal. Karena hidup di
bawah permukaan tanah, hewan ini menjadi tidak berpigmen. Cacing
tanah ini
melakukan aktifitas makan
dibawah permukaan tanah (Ismail 1997). Jenis cacing tanah pada kelompok ini
adalah Allolobophora chlorotica dan Aporrectodea caliginosa (Yulipriyanto
2010).
2.7. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2.7.1. Definisi RTH
Ruang
terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung
dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak
tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang
terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim & Utomo 2002).
Ruang
Terbuka Hijau kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna
mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam
kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah
perkotaan tersebut (Hakim & Utomo
2002).
2.7.2. Tujuan, peranan dan manfaat RTH di wilayah perkotaan
Departemen
Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah
Perkotaan, dengan tujuan sebagai berikut :
a.
meningkatkan lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih
dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan
b.
menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna
untuk kepentingan masyarakat (Hakim &
Utomo 2002).
Peranan
RTH bagi pengembangan kota adalah sebagai berikut :
a.
alat pengukur iklim amplitude (klimatologis). Penghijauan memperkecil
amplitude variasi yang lebih besar dari kondisi udara
b.
penyaring udara kotor (protektif). Penghijauan dapat mencegah terjadinya
pencemaran udara yang berlebihan oleh adanya asap kendaraan, asap buangan
industri dan gas beracun lainnya
c.
sebagai tempat hidup satwa. Pohon peneduh tepi jalan sebagai tempat
hidup satwa burung/unggas
d.
sebagai penunjang keindahan (estetika). Tanaman ini memiliki bentuk
teksur dan warna yang menarik
e.
mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan. Ditinjau dari sudut
planologi, penghijauan berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu elemen-elemen
(bangunan) yang ada disekelilingnya. Dengan demikian, dapat tercipta lingkungan
yang kompak dan serasi (Hakim &
Utomo 2002).
Adapun manfaat RTH diwilayah perkotaan
antara lain sebagai berikut :
a.
memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan
b.
memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota
c.
memberikan hasil produksi berpa kayu, daun, bunga dan buah
d.
sebagai tempat hidup satwa dan plasma nutfah
e.
sebagai resapan air guna menjaga keseimbangan tata air dalam tanah,
mengurangi aliran air permukaan, menangkap dan menyimpan air, menjaga
keseimbangan tanah agar kesuburan tanah tetap terjamin
f.
sirkulasi udara dalam kota
g.
sebagai tempat sarana dan prasarana rekreasi (Hakim & Utomo 2002).
2.8. RTH di Universitas Riau
Universitas Riau disingkat UR dulunya disingkat UNRI,
adalah sebuah perguruan tinggi negri yang berada di Provinsi Riau, tepatnya Kota Pekanbaru, yang berdiri pada 25 September 1962.
Sejalan dengan perkembangannya terjadi banyak perkembangan di Universitas Riau
baik dari segi pendidikan maupun pembangunan. Berjalannya pembangunan di
Universitas Riau ini terjadi baik dari segi penambahan bangunan maupun
penambahan infrastruktur lainnya seperti kawasan pertamanan kampus dan kawasan
perkebunan untuk penelitian. Dewasa ini, Kampus Universitas Riau merupakan salah satu RTH
penting di kota Pekanbaru (Muhammad 2012). Kampus Universitas Riau memiliki
berbagai jenis RTH misalnya area stadiun mini, hutan sekunder (Arboretum),
kawasan taman kampus dan halaman gedung perkuliahan. Adanya perbedaan letak RTH
mempengaruhi jenis vegetasi yang ditanam disana. Jenis vegetasi penutup yang
terdapat pada RTH Universitas Riau secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu
rumput, semak, dan pohon.
III.
METODE
PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei
2013
pada lahan RTH
Universitas Riau, Pekanbaru. Lahan RTH yang diteliti meliputi kawasan
stadiun mini, kasawan arboretum, lapangan taekondow, kawasan panjat dinding,
kawasan heterogen Eukaliptus FISIP, Taman Kobashi FMIPA, kawasan belakang
mushola FMIPA, Laboratorium Ekologi, Zoologi dan Kimia Organik FMIPA dan
halaman gedung perkuliahan FAPERIKA.
Lokasi
penelitian difokuskan pada lahan
RTH dengan jenis vegetasi penutup tanah berupa: (a)
lahan dengan vegetasi rumput seperti Rumput Gajah Mini (Axonopus compressus);
(b) lahan dengan vegetasi semak seperti Bunga Soka (Ixora paludosa), Kembang Sepatu (Hibiscus
rosasinensis)
dan Bunga Pangkas
Kuning (Duranta repens); (c) lahan dengan
vegetasi pohon tunggal seperti Matoa
(Pometia pinnata), Pulai (Alstonia scholaris), Rambutan (Nephelium lappaceum), Jambu Air (Syzigium aqueum) dan
Alpukad (Persea
americana) dan (d) lahan dengan vegetasi pepohonan seperti Jambu
Mawar (Eugenia jambos), Mangga (Mangifera indica), Manggis (Garcinia mangostana), Cempedak (Artocarpus
champeden),
Johar (Cassia siamea), Nyampung (Callophyllum
inophyllum), Sengon
(Paraserianthes
falcataria),
Ekaliptus (Eucalyptus pellita).
3.2. Disain Penelitian
Jenis tutupan vegetasi
|
Rumput
|
Semak
|
Pohon tunggal
|
Pepohonan
|
Kode Plot Sampling
|
RmP
|
SmP
|
PtP
|
PoP
|
Jumlah Plot Sampling
|
20
|
20
|
20
|
20
|
Gambar 3.1. Jenis tutupan vegetasi, kode dan jumlah
plot samplingnya
Pada jenis vegetasi penutup tanah berupa rumput diberi kode RmP(nomor plot), plot
sampling diletakkan pada halaman Laboratorium Ekologi 2 plot, halaman
Laboratorium Zoologi dan Botani 2 plot, halaman Dekanat FMIPA 1 plot, kawasan
panjat dinding sebelah kiri 3 plot, sebelah kanan 2 plot, dan belakang 3 plot,
area lapangan taekondow 5 plot, dan kawasan belakang FAPERIKA sebanyak 2 plot.
Jenis
vegetasi penutup tanah
berupa semak diberi kode SmP(nomor plot), plot sampling diletakkan pada halaman
Laboratorium Kimia Organik sebanyak 3 plot, halaman samping Laboratorium Kimia
Anorganik 5 plot, taman Kobashi FMIPA 3 plot, halaman gedung perkuliahan
FAPERIKA 5 plot, dan kawasan depan Arboretum 4 plot.
Untuk jenis
vegetasi penutup tanah
berupa pohon tunggal diberi kode PtP(nomor plot), keseluruhan plot sampling diletakkan pada
halaman Stadion Mini dengan 5 plot di sebelah kanan dan 5 plot di sebelah kiri,
5 plot di luar pembatas lapangan bola sebelah kanan dan 5 plot di luar pembatas
lapangan bola bagian belakang.
Jenis
vegetasi penutup tanah
berupa pepohonan, diberi kode PoP(nomor plot), plot sampling diletakkan pada
halaman samping Laboratorium Kimia Organik dan Anorganik sebanyak 3 plot,
halaman depan Laboratorium Kimia Anorganik dan Analitik sebanyak 2 plot, bagian
belakang Mushola FMIPA sebanyak 3 plot, Halaman Dekanat FMIPA 1 plot, kawasan
Eukaliptus FISIP 5 plot, kawasan belakang FAPERIKA 1 plot, dan kawasan
Arboretum 5 plot.
3.3. Cara Pengumpulan
Sampel
Plot dibuat dengan ukuran 100 x 100 cm sehingga
memiliki luas 1 m2. Jenis vegetasi penutup
tanah berupa tumbuhan
berkayu seperti semak, pohon tunggal dan pepohonan terdapat beberapa variasi
jarak untuk peletakan plot seperti ±5 cm dari batang tumbuhan untuk jenis
vegetasi penutup tanah
berupa semak, ± 10 cm dari batang pohon untuk jenis
vegetasi penutup tanah
dan ± 15 cm dari batang pohon untuk jenis vegetasi penutup
tanah pepohonan. Adanya
perbedaan peletakan plot ini dikarenakan terdapatnya perbedaan ukuran pada
masing-masing jenis vegetasi penutup tanah.
Sampling
kascing diambil menggunakan tangan (hand
sorting method) (Suin 1997), kemudian dimasukkan ke dalam plastik wadah
sampel yang telah diberi label dan tanggal pengambilan. Produksi kascing
dipantau selama 50 hari berturut-turut dengan 10 pengambilan, dimana jarak
antara satu waktu pengambilan kewaktu pengambilan berikutnya adalah 5 hari.
3.4. Karakterisasi Kondisi Lingkungan
Karakteristik kondisi lingkungan pada masing-masing plot yang dilihat mencakup kondisi
di atas permukaan tanah seperti jenis vegetasi penutup tanah dan kondisi
dibawah permukaan tanah seperti bulk
density tanah, massa akar, dan pH tanah untuk melihat pengaruhnya
terhadap aktifitas cacing tanah. Keberadaan
cacing tanah di dalam tanah dilihat dengan melakukan penggalian tanah yaitu
pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm.. Dilakukan pula pengambilan sampel tanah
pada masing-masing plot pengambilan sampel kascing. Hal ini bertujuan untuk
melihat kondisi dari tanah seperti kandungan C, N, P, K dan tekstur sebagai pembanding
dengan sampel kascing.
3.5. Cara Penanganan Sampel
Sampel yang dibawa dari lapangan
dikering-anginkan dengan wadah nampan di Laboratorium Ekologi FMIPA Universitas
Riau selama 2 x 24 jam atau menurut kondisi sampel. Sampel yang banyak dan
basah memerlukan waktu pengeringan lebih lama, namum selama penelitian ini
pengeringan sampel tidak memakan waktu lebih dari 3 x 24 jam.
Sampel yang telah kering dikemas di
dalam wadah toples plastik dan disesuaikan dengan tanggal pengambilannya.
Setelah pengambilan sampel selesai hingga pengambilan ke 10, sampel-sampel
kascing mulai dari pengambilan pertama hingga terakhir dilihat dan dicocokkan
kemudian dibandingkan dengan tanah tempat sampel kascing diambil untuk
selanjutnya dianalisis kandungan C, N, P, K dan teksturnya.
3.6. Analisis Kimia
dan Fisika
3.6.1. Analisis
kandungan organik (C) dan kimia (N, P, K)
Baik
sampel tanah maupun kascing dianalisis kandungan organik dan kimianya.
Kandungan organik dalam bentuk C organik dan kandungan kimia dalam bentuk N total,
P total, P tersedia dan K total. Kadar kandungan C organik dianalisis dengan
Metode Walkley & Black, N total dengan Metode Kjeldahl, P dan K total
dengan menggunakan Metode Ekstrak HCL 25% dan P tersedia dengan Metode Olsen.
Analisis Kandungan C, N, P, K tidak dilakukan secara pribadi. Sampel tanah dan
kascing dikirim ke PT. Central Plantation Service (CPS) di Jl. Soebrantas,
Panam, Pekanbaru.
3.6.2 Analisis fisik
Penentuan tekstur tanah dan kascing dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah FAPERTA
Universitas Riau. Metode
yang digunakan untuk menganalisis tekstur adalah Metode Pipet. Masing-masing sampel
tanah dan kascing
ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan kedalam beker glass 500 ml, kemudian
ditambahkan 50 ml H2O2 10%. Beker glass tersebut ditutup
dengan aluminium foil dan diamkan semalam. Selanjutnya dilakukan penambahkan 25 ml H2O2
30% dan dipanaskan diatas hot plate
sampai busa/buihnya habis dan diamkan hingga dingin. Kemudian ditambahkan 180
ml aquades dan larutan HCL 2 N sebanyak 20 ml, panaskan diatas Hot Plate selama
± 10 menit lalu diamkan hingga dingin. Kemudian cuci dengan aquades hingga
bebas asam (test kertas lakmus), setelah bebas asam lalu ditambahkan 10 ml larutan peptisator Na4P2O7
(Na-hexametaphosphate) 4%.
Pemisahan Pasir
Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan menggunakan
saringan 500 mikron dan filtrat
ditampung dengan bejana
500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan ke cawan
aluminium yang telah diketahui beratnya lalu dioven pada suhu 1050C
selama 24 jam dan ditimbang, maka diperoleh berat pasir kering (berat pasir = A gram).
Pemisahan debu dan liat
Filtrat dalam bejana tadi dimasukkan ke dalam
bekker glass dan diencerkan
dengan aquades menjadi 500 ml. Kemudian diaduk
selama 10 menit dan dipipet sebanyak 20 ml lalu dimasukkan kedalam cawan
aluminium yang telah diketahui beratnya. Filtrat kemudian
dioven pada suhu 1050C selama 24 jam lalu ditimbang, maka diperoleh
berat kotor dari debu
dan liat (berat debu + liat
+ peptisator = B gram).
Pemisahan liat dilakukan dengan cara mengaduk kembali filtrat
dalam bejana tadi hingga homogen dan dibiarkan selama ± 3,5 jam. Selanjutnya suspensi liat dipipet sebanyak
20 ml lalu dimasukkan ke dalam
cawan aluminium yang telah diketahui beratnya. Suspensi liat kemudian
dioven pada suhu 1050C selama 24 jam lalu ditimbang, maka diperoleh
berat kotor liat
(berat liat + peptisator = C
gram).
Bobot Peptisator pada pemipetan 20 ml berdasarkan perhitungan adalah
0.0095. Jumlahnya yang sangat kecil sehingga biasanya sering diabaikan dalam
proses penghitungan berat. Rumus perhitungan berat fraksi secara jelas dapat
dilihat pada perhitungan di bawah.
Perhitungan
Fraksi pasir = A g
Fraksi debu = 25 (B-C) g
Fraksi liat = 25 (C) g
3.7. Perhitungan
Porositas
Banyaknya kascing yang dihasilkan digunakan sebagai pendekatan
untuk menghitung persentase pori tanah. Semakin banyak produksi kascing berarti
liang yang dibuat semakin banyak dan panjang sehingga pori tanah yang terbentuk
juga meningkat. Perhitungan
porositas dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan simulasi penghitungan
volume kascing dengan Metode Volumetrik. Pada metode ini dimasukkan aquades ke
dalam gelas ukur dan dilihat berapa volumenya. Setelah itu dimasukkan kascing
yang telah diketahui massanya ke dalam gelas ukur tersebut lalu diukur berapa
kenaikan volume airnya. Simulasi ini dilakukan sebanyak 50 kali pengulangan
dengan massa kascing yang bervariasi. Dari hasil simulasi didapat persamaan y =
0.499x - 0.054. Persamaan ini digunakan dalam pergitungan volume dan panjang
makropori dengan satuan volume makropori cm3/m2/tahun dan
panjang makropori cm/m2/tahun.
3.8. Analisis Data
Data
yang telah diperoleh dianalisis menggunakan program statistik SPSS versi 17.0, meliputi uji Anova satu arah (One-Way Anova), Analisis Korelasi dan Regresi dan Uji t-berpasangan serta program
Minitab versi 16.0 untuk uji Analisis Komponen Utama.
3.8.1. Anova satu arah (one-way anova)
Anova satu arah digunakan untuk
membandingkan jenis vegetasi penutup terhadap produksi kascing.
3.8.2. Uji
t-berpasangan
Uji t-berpasangan
digunakan untuk membandingkan rerata kandungan bahan organik dan kimia (C, N,
P, K) antara kascing dan tanah pada
plot sampling.
3.8.3. Analisis
komponen utama (principle componen analysis atau PCA)
Analisis ini
digunakan untuk melihat pengaruh dari berbagai faktor yaitu pH tanah, bulk
density dan massa akar secara sekaligus untuk diketahui signifikansi dari
masing-masingnya terhadap produksi kascing.
DAFTAR
PUSTAKA
Anas, I.
1990. Metode Penelitian Cacing Tanah
(Penuntun Praktikum). PAU –
Bioteknologi IPB – Dirjen Dikti Depdikbud. 252 hal.
Anwar
KE.2009. Efektifitas Cacing Tanah Pheretimahupiensis, Edrellus sp. dan Lumbricus sp. dalam Proses
Dekomposisi Bahan Organik. Balai Penelitian Tanah
:Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Volume 14 : 2 : 149-158.
Barley,
K.P. & A.C.
Junnings. 1958. Earthworm and Soil
Fertility: III. The influence of eartworm on the availability of N. J. Agr.
Res. 10:364-370.
Blakemore
RJ. 2008. A Series of Searchable Text On
Earthworm Biodiversity, Ecology, and Systematics From Various Regions of The
World-3rd Edition. http://www.annelida.net/earthworm. [28Februari 2011].
Buckman, H. O & N. C Brady. 1999. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. UGM Press. Yogyakarta.
hlm. 64-66.
Capoweiz,
Y. 2000. Difference in Burrowing behavior and Spatial Interaction Between The
Two Earthworm Species Aporrectodea
nocturna and Allobophora chlorotica.
Biology and Fertility of Soil 27, 51,-59.
Dwiastuti, S. & Suntoro. 2011. Eksistensi Cacing
Tanah pada Lingkungan Berbagai Sistem Budidaya Tanaman di Lahan Berkapur.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Edwards CA
& Lofty JR. 1977.Biologi of
Earthworms.Halsted Press, a Division
of John Wiley & Sons, Inc. New York.
Edward,
C.A. 1980. “Interaksi antara Budidaya Pertanian dengan Cacing Tanah”. Dalam
Anas 1990
Guild,
W.F. 1955. “Earthworm and Soil Structure”. In
Soil Zool.. Butterworths, London. 83-98.
Hakim, R. & B. Utomo. 2002. Komponen Perancangan Arsitektutr Lansekap. Jakarta
: Bumi Aksara
Hanafiah, K.A. 2002. Ilmu
Kesuburan dan Penyuburan Tanah. Diktat
PS Ilmu Tanah FP Unsri , Indralaya, Sumsel.
_____. 2010. Biologi
Tanah: Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Rajawali Pers. Jakarta.
Hardjowigeno,
S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
_____. 2007.
Ilmu Tanah. Akapres Pers. Jakarta.
Lavelle,
P. 1999. Eartworm Aktifities and the Soil System. Biol Fertile Soil 6: 237-251.
Minnich
J. 1977. The Earthwom Book : How to Raise and Use Earthworms for
Your Farm dan Garden. Rodale
Press Emmaus. United States of America.
Muhammad, A. 2012. Profil Keanekaragaman Kota
Pekanbaru. Laporan Penelitian. BLH. Kota Pekanbaru
Richard. 1978. “Introduction
to the Soil Ecosystem”. Dalam Anas (1990)
Rusell, E. W. 1999. Soil
Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific &
Technical. New York: The United States with John &Sons. pp. 138-151.
Satchel,
J.e. 1955. Some aspects of earthworm
ecology. In Soil Zool., Butterwoths, London, pp. 180-201.
Simanjuntak, D. 2004. Manfaat Pupuk Organik Kascing
dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Tanah dan Tanaman. Jurnal Penelitian
Bidang Ilmu Pertanian 2: 5-9.
Suin, N.M. 1997. Ekologi
Hewan Tanah. Bandung : Bumi Aksara
Utaya, S. 2008. Pengaruh
Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Sifat Biofisik Tanah dan Kapasitas
Infiltrasi di Kota Malang. Universitas Negri Malang. Malang
Wallwork,
J. A. 2001. Ecology of
Soil Animal. Mc.Graw Hill
Book Company. London.pp.58-74.
.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. GrahaIlmu.
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar