Kamis, 15 Oktober 2015

PENGARUH CACING TANAH TERHADAP KUALITAS LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DALAM KAMPUS UNIVERSITAS RIAU, PEKANBARU

PENGARUH CACING TANAH TERHADAP KUALITAS LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DALAM KAMPUS UNIVERSITAS RIAU, PEKANBARU


TUGAS METODE PENELITIAN














OLEH



SEPTIAN JULIFAR SYAMSUL HUDA
NIM. 1410245993







PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015






I.  PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang

Cacing tanah merupakan salah satu kelompok makrofauna tanah yang sering disebut ecosystem engineer (perekayasa lingkungan) atau soil engineer (perekayasa tanah) (Guild 1955). Hal ini dikarenakan aktifitas fauna ini dapat mempengaruhi struktur fisik maupun karakteristik kimiawi dan biologis tanah. Secara umum keberadaan cacing tanah sering digunakan sebagai bioindikator dari kesehatan dan kesuburan tanah. Selain itu, cacing tanah mampu mengkonsumsi bahan organik tanah sehingga dapat membantu proses dekomposisi.
Aktifitas cacing tanah secara umum terbagi dua, yaitu membuat liang dan memproduksi kascing. Aktifitas membuat liang membentuk pori pada tanah (makropori/biopori). Ukuran dari pori yang terbentuk berbeda-beda sesuai dengan ukuran (diameter tubuh) cacing tanah yang melaluinya. Biopori memiliki beberapa manfaat yaitu meningkatkan porositas tanah dan peresapan air kedalam tanah sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya banjir. Kascing atau “cast cacing” merupakan agregat tanah yang tidak lain adalah kotoran (feses) cacing tanah. Kehadiran cacing tanah dapat dengan mudah dilihat dari adanya kascing yang terdapat di permukaan tanah (Anas 1990). Sebagai agregat tanah, kascing memiliki kestabilan yang jauh lebih tinggi dibanding agregat tanah biasa, artinya tidak mudah terburai dalam air (Simanjuntak 2004). Hal ini menyebabkan kascing dapat membantu mencegah terhanyutnya sedimen oleh aliran air permukaan (runoff) (Simanjuntak 2004). Selain itu, kascing memiliki kandungan yang kaya akan unsur-unsur hara yang telah mengalami mineralisasi seperti N, P, K sehingga dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah (Hanafiah 2002).
Porositas dan kesuburan tanah merupakan dua hal penting dalam ruang terbuka hijau (RTH) di lingkungan perkotaan. Hal ini dikarenakan diantara tujuan utama pengalokasian lahan untuk RTH adalah sebagai ruang peresapan dan konservasi air serta sebagai ruang bagi tumbuhnya vegetasi, baik secara alamiah maupun ditanam. Tujuan ini dapat dicapai apabila porositas tanah pada lahan RTH cukup tinggi sehingga mampu meresapkan air dengan baik (Hakim 2010), sementara pertumbuhan vegetasi pada lahan ini akan optimal apabila tanah yang ada cukup subur (Hakim 2010). Dalam hal ini, cacing tanah sebagai soil engineer (perekayasa tanah) memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas RTH dengan cara meningkatkan kualitas peresapan air melalui aktifitas membuat liang dan membantu penyediaan unsur-unsur hara secara alamiah melalui produksi kascingnya (Barley 1958).

1.2.      Rumusan Masalah

Aktifitas cacing tanah pada lahan RTH pada dasarnya tergantung seberapa melimpah dan tersebarnya cacing tanah yang ada. Kedua hal ini sendiri diduga  sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis vegetasi penutup tanah (Edwards & Lofty 1977). Dalam hal ini, tanah yang terlindungi pepohonan kemungkinan memiliki kelimpahan cacing tanah yang berbeda dari tanah yang hanya tertutupi rumput.
Karakteristik vegetasi penutup tanah merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi iklim mikro pada permukaan tanah (Rusell 1999). Hal ini akan mempengaruhi kondisi di bawah permukaan tanah, seperti ketersediaan humus dan penggunaan ruang untuk perakaran serta retensi kelembaban dan suhu tanah (Rusel 1991). Semua ini merupakan faktor-faktor penting yang umumnya berpengaruh terhadap cacing tanah (Wallwork 2001). Dengan demikian, kondisi penutupan lahan RTH oleh vegetasi diduga memiliki dampak penting bagi aktifitas cacing tanah yang ada.

1.3.      Tujuan Penelitian

Kampus Universitas Riau pada dasarnya merupakan salah satu RTH terpenting di Kota Pekanbaru (Muhammad 2012). Di dalam kampus ini dapat dijumpai berbagai kondisi penutupan lahan, seperti yang berupa rerumputan, semak, pohon-pohon tunggal dan pepohonan. Oleh karenanya dengan mengacu rumusan masalah di atas telah ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1.         Mengetahui pengaruh jenis tutupan vegetasi di lingkungan Kampus Universitas Riau terhadap aktifitas cacing tanah.
2.         Mengetahui karakteristik kimia dan fisika kascing yang dihasilkan cacing tanah pada lahan RTH ini.
3.         Menaksir sumbangan cacing tanah terhadap hara tanah berdasarkan perbandingan hara antara kascing dengan tanah dan sumbangan terhadap porositas tanah berdasarkan volume kascing yang dihasilkan.

1.4.      Manfaat penelian

                Hasil Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai jenis tutupan vegetasi yang baik untuk ditaman pada kawasan RTH perkotaan guna mendukung konservasi air dan tanah, serta menjaga keberlangsungan ekosistem dikawasan perkotaan.















II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Biologi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang digolongkan ke dalam filum Annelida, kelas Chaetopoda, dan ordo Oligochaeta  yang hidup dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus) (Minnich 1977). Berdasarkan jenis habitatnya, ordo Oligochaeta terbagi menjadi dua jenis yaitu Oligochaeta terestrial dengan ukuran tubuh lebih besar atau disebut juga Megadrila yang memiliki 10 familia dan Oligochaeta akuatik memiliki ukuran yang lebih kecil atau disebut juga Microdrila yang memiliki 7 familia. Cacing tanah kelompok Megadrila inilah yang sering dijumpai di tanah lapang  (Hanafiah et al. 2010).  Sementara itu, berdasarkan hasil survei Blakemore (2008) di Indonesia ditemukan  sekitar 7 familia dan 27 genus cacing dari kelompok ini.
Secara morfologis tubuh cacing tanah terbagi menjadi lima bagian, yakni bagian depan (anterior), bagian tengah, bagian belakang (posterior), bagian punggung (dorsal), dan bagian bawah atau perut (vertal) (Minnich 1977). Cacing tanah bersifat “hemaphrodite biparental” yang artinya, cacing tanah memiliki dua jenis alat reproduksi sekaligus, yakni jantan dan betina. Namun, untuk menghasilkan keturunan, mereka harus melakukan perkawinan dengan cacing dewasa lainnya (Minnich 1977). Ciri-ciri cacing tanah dewasa dan siap melakukan perkawinan adalah berumur diatas 2,5 bulan dan sudah terbentuk klitelum (Minnich 1977).
2.2.      Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehadiran dan Kelimpahan Cacing tanah
Keberadaan cacing tanah pada suatu lahan sangat erat kaitannya dengan karakter dari lahan tersebut. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi kehadiran dan kelimpahan cacing tanah yaitu keasaman (pH), kelembaban, bahan organik, dan, serta jenis tanah. (Hanafiah et al. 2010).
Keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktifitas cacing tanah sehingga dapat menjadi factor pembatas penyebaran dan speciesnya. Umumnya cacing tanah cumbuh baik pada pH sekitar 7,0. (Hanafiah 2002)
            Sekitar 75%-90% bobot cacing tanah hidup adalah air (Grant cit. Anas 1990) sehingga dehidrasi (pengeringan) merupakan hal sangat menentukan bagi cacing tanah. Untuk itu cacing tanah memerlukan kadar air yang sesuai dengan hidupnya. Adaptasi kadar air tanah ini bervariasi tergantung speciesnya.
Menurut Russel (1999) kandungan bahan organik akan mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah. Dalam persebarannya, cacing tanah akan cenderung mencari daerah dengan kandungan bahan organic yang tinggi yang dapat menyokong kehidupannya.
Pada dasarnya jenis tanah erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah. Namun hal ini bukanlah satu satunya faktor karena pada umumnya perbedaan jenis tanah akan memberikan perbedaan pula pada karakter karakter fisika kimianya dan mempengaruhi komposisi fauna yang menempatinya.
2.3.      Aktifitas Cacing Tanah
2.3.1.   Membuang liang (burrowing)
Menurut Capwiez (2000), cacing tanah dalam melakukan aktifitas hidupnya tentu melakukan pergerakan. Pergerakan ini dapat terjadi akibat adanya aktifitas mencari makan, mengeluarkan kascing, dan respon terhadap rangsang. Cacing tanah umumnya lebih aktif pada malam hari. Hal ini dikarenakan kondisi malam yang lebih nyaman bagi cacing tanah seperti suhu yang rendah, kelembaban yang cukup dan tidak adanya sinar matahari.
Sinar matahari dalam intensitas tertentu merupakan hal yang berbahaya bagi cacing tanah. Panas dari sinar matahari dapat merusak kelembaban tubuh cacing tanah sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi cacing tanah. Oleh karena itu, pada siang hari cacing tanah cenderung tidak aktif dan berpindah ke lapisan tanah yang lebih dalam untuk menghindari suhu permukaan tanah yang panas dan sinar matahari (Barley & Junnings 1958).
Keberadaan air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pergerakan cacing tanah. Cacing tanah akan cenderung bergerak mendekati tanah yang memiliki kelembaban cukup untuk mempertahankan kelangsungannya. Apabila keadaan tanah sedang kering, maka cacing tanah akan berdiam diri dan melingkarkan tubuh mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelembaban dan air di dalam tubuhnya (Wallwork 2001).


2.3.2.   Aktifitas makan dan produksi kascing
            Cacing tanah sangat menyukai bahan organik tanah yang berasal dari serasah (Anwar 2009). Serasah merupakan sisa-sisa dari tumbuhan yang telah mati seperti daun, ranting, buah dan dahan pohon yang telah mati dan gugur ke tanah (Russel 1999). Kemampuan hewan ini dalam mengkonsumsi serasah ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen pada serasah (Edwards & Lofty 1977).  Diketahui bahwa cacing tanah lebih menyukai serasah yang memiliki rasio N yang lebih tinggi dibanding C. Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh dekomposer karena lebih mudah dicerna. Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah.  Nilai nutrisi dapat ditentukan dari rasio C : N, dimana nilai rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi (Appenholf 1980).
Dalam aktifitas produksi kascing, cacing tanah tidak bisa langsung memakan serasah. Serasah dapat dimakan oleh cacing tanah apabila telah berubah menjadi bahan organik tanah atau soil organic matter (som) yang memiliki struktur lebih sederhana dan lebih lunak dibanding serasah (Anwar 2009). Bahan organik tanah ini terbentuk dari serasah yang berubah menjadi serpihan serasah lalu menjadi bahan organik tanah akibat adanya penghancuran fisika oleh lingkungan dan organisme lain seiring dengan berjalannya waktu. Setelah berada dalam keadaan lunak bahan organik tersebut kemudian dimakan oleh cacing tanah. Di dalam tubuh cacing tanah, bahan organik tersebut kemudian dicerna. Pada pencernaan cacing tanah terdapat bakteri yang berfungsi membantunya dalam mencerna makanan. Tanah yang telah dicerna kemudian dikeluarkan melalui anus dalam bentuk kascing (Minnich 1977).
2.4.      Dampak Aktifitas Menggali (burrowing) terhadap Porositas Tanah
Pergerakan cacing di dalam tanah ini mengakibatkan terbentuknya liang-liang (Capoweiz 2000). Lubang atau liang bekas jalan cacing tanah berada berfungsi memperbaiki aerasi dan drainase di dalam tanah, sehingga tanah menjadi gembur (Barley & Junnings 1958). Di samping itu, cacing tanah juga membantu pengangkutan sejumlah lapisan tanah dari bahan organik dan memperbaiki struktur tanah (Guild 1955). Richard (1978) menyatakan bahwa cacing tanah mampu melakukan penggalian lubang hingga kedalaman satu meter, sehingga dapat meresapkan air dalam volume yang lebih besar, serta mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. Dengan begitu, selain mencegah erosi, cacing tanah juga mampu meningkatkan keersediaan air tanah (Capoweiz 2000).
2.5.      Kascing dan Pengaruhnya terhadap Kesuburan Tanah
Minnich (1977) mengungkapkan bahwa lahan pertanian yang mengandung cacing tanah pada umumnya memang lebih subur. Sebab, tanah yang bercampur dengan kotoran cacing memberikan manfaat bagi tanaman. Proses pengubahan kondisi tanah dapat dijelaskan secara ilmiah. Awalnya, cacing tanah membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau memakan langsung massa tanah. Setelah dicerna, sisa-sisa bahan tersebut dilepaskan kembali sebagai bahan buangan padat (kascing).
Edwards & Lofty (1977) menyatakan bahwa  sebagian besar bahan tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk nutrisi yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Pengembalian bahan tanah ini dilakukan oleh cacing tanah melalui produksi kascingnya. Produksi alami dari kascing cacing tanah di alam bergantung pada spesies, musim, dan kondisi populasi yang sehat.
Kascing kaya usur hara dan keberadaannya mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P, dan K di dalam tanah (Minnich 1977). Unsur-unsur tersebut merupakan unsur pokok bagi tanaman (Hardjowigeno 1986).
2.6.      Pembagian Cacing Tanah secara Ekologi
            Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda dan menempati relung ekologi yang berbeda. Menurut Bouche dalam Hanifiah (2010), mengelompokkan spesies cacing tanah ke dalam tiga kategori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan dan membuat liang, yaitu spesies epigeic, endogeic dan anecic.
1.      Cacing tanah jenis epigeic merupakan cacing tanah yang aktif pada permukaan tanah terutama pada lapisan serasah. Cacing ini umumnya tidak memiliki liang. Tubuhnya berukuran kecil dan berpigmen. Laju metabolisme dan reproduksinya tinggi. Hal itu menggambarkan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Contoh jenis cacing ini adalah Lumbricus rubellus (Yulipriyanto 2010).
2.      Cacing tanah jenis anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen. Cacing tanah jenis ini dapat di temukan di dalam liang yang dangkal atau dalam tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya. Cacing tanah ini mengeluarkan kascing pada permukaan tanah dan muncul di malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran, dan bahan organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Cacing tanah anecic memiliki peran yang sangat besar dalam dekomposisi bahan organik, siklus makan, dan pembentukan tanah (Lavelle 1999). Contoh dari jenis aneciques ini adalah Lumbricus terrestris (Yulipriyanto 2010). 
3.      Cacing tanah endogeic merupakan jenis cacing tanah yang berada di kedalaman sekitar 30 cm dari permukaan tanah. Cacing tanah kelompok ini membuat liang-liang horizontal. Karena hidup di bawah permukaan tanah, hewan ini menjadi tidak berpigmen. Cacing tanah ini melakukan aktifitas makan dibawah permukaan tanah (Ismail 1997). Jenis cacing tanah pada kelompok ini adalah Allolobophora chlorotica dan Aporrectodea caliginosa (Yulipriyanto 2010).
2.7.      Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2.7.1.   Definisi RTH
Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim & Utomo 2002). 
Ruang Terbuka Hijau kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Hakim & Utomo 2002). 
2.7.2.   Tujuan, peranan dan manfaat RTH di wilayah perkotaan
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, dengan tujuan sebagai berikut :
a.       meningkatkan lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan
b.      menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat (Hakim & Utomo 2002).
Peranan RTH bagi pengembangan kota adalah sebagai berikut :
a.         alat pengukur iklim amplitude (klimatologis). Penghijauan memperkecil amplitude variasi yang lebih besar dari kondisi udara
b.        penyaring udara kotor (protektif). Penghijauan dapat mencegah terjadinya pencemaran udara yang berlebihan oleh adanya asap kendaraan, asap buangan industri dan gas beracun lainnya 
c.         sebagai tempat hidup satwa. Pohon peneduh tepi jalan sebagai tempat hidup satwa burung/unggas
d.        sebagai penunjang keindahan (estetika). Tanaman ini memiliki bentuk teksur dan warna yang menarik
e.         mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan. Ditinjau dari sudut planologi, penghijauan berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu elemen-elemen (bangunan) yang ada disekelilingnya. Dengan demikian, dapat tercipta lingkungan yang kompak dan serasi (Hakim & Utomo 2002).

Adapun manfaat RTH diwilayah perkotaan antara lain sebagai berikut :
a.         memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan
b.        memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota
c.         memberikan hasil produksi berpa kayu, daun, bunga dan buah
d.        sebagai tempat hidup satwa dan plasma nutfah
e.         sebagai resapan air guna menjaga keseimbangan tata air dalam tanah, mengurangi aliran air permukaan, menangkap dan menyimpan air, menjaga keseimbangan tanah agar kesuburan tanah tetap terjamin
f.         sirkulasi udara dalam kota
g.        sebagai tempat sarana dan prasarana rekreasi (Hakim & Utomo 2002).
2.8.      RTH di Universitas Riau
            Universitas Riau disingkat UR dulunya disingkat UNRI, adalah sebuah perguruan tinggi negri yang berada di Provinsi Riau, tepatnya Kota Pekanbaru, yang berdiri pada 25 September 1962. Sejalan dengan perkembangannya terjadi banyak perkembangan di Universitas Riau baik dari segi pendidikan maupun pembangunan. Berjalannya pembangunan di Universitas Riau ini terjadi baik dari segi penambahan bangunan maupun penambahan infrastruktur lainnya seperti kawasan pertamanan kampus dan kawasan perkebunan untuk penelitian. Dewasa ini, Kampus Universitas Riau merupakan salah satu RTH penting di kota Pekanbaru (Muhammad 2012). Kampus Universitas Riau memiliki berbagai jenis RTH misalnya area stadiun mini, hutan sekunder (Arboretum), kawasan taman kampus dan halaman gedung perkuliahan. Adanya perbedaan letak RTH mempengaruhi jenis vegetasi yang ditanam disana. Jenis vegetasi penutup yang terdapat pada RTH Universitas Riau secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu rumput, semak, dan pohon.





















III. METODE PENELITIAN

3.1.      Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2013 pada lahan RTH Universitas Riau, Pekanbaru. Lahan RTH yang diteliti meliputi kawasan stadiun mini, kasawan arboretum, lapangan taekondow, kawasan panjat dinding, kawasan heterogen Eukaliptus FISIP, Taman Kobashi FMIPA, kawasan belakang mushola FMIPA, Laboratorium Ekologi, Zoologi dan Kimia Organik FMIPA dan halaman gedung perkuliahan FAPERIKA.
Lokasi penelitian difokuskan pada lahan RTH dengan  jenis vegetasi penutup tanah berupa: (a) lahan dengan vegetasi rumput seperti Rumput Gajah Mini (Axonopus compressus); (b) lahan dengan vegetasi semak seperti Bunga Soka (Ixora paludosa), Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis) dan Bunga Pangkas Kuning (Duranta repens); (c) lahan dengan vegetasi pohon tunggal seperti Matoa (Pometia pinnata), Pulai (Alstonia scholaris), Rambutan (Nephelium lappaceum), Jambu Air (Syzigium aqueum) dan Alpukad (Persea americana)  dan  (d) lahan dengan vegetasi pepohonan seperti Jambu Mawar (Eugenia jambos), Mangga (Mangifera indica), Manggis (Garcinia mangostana), Cempedak (Artocarpus champeden), Johar (Cassia siamea), Nyampung (Callophyllum inophyllum), Sengon (Paraserianthes falcataria), Ekaliptus (Eucalyptus pellita).

3.2.      Disain Penelitian
Dalam survei ini, masing-masing jenis vegetasi penutup tanah diwakili oleh 20 plot. Penentuan lokasi plot sampling dilakukan secara purpossive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan lahan dan keadaan area pengamatan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang diharapkan.
Jenis tutupan vegetasi
Rumput
Semak
Pohon tunggal
Pepohonan
Kode Plot Sampling
RmP
SmP
PtP
PoP
Jumlah Plot Sampling
20
20
20
20

Gambar 3.1. Jenis tutupan vegetasi, kode dan jumlah plot samplingnya
Pada jenis vegetasi penutup tanah berupa rumput diberi kode RmP(nomor plot), plot sampling diletakkan pada halaman Laboratorium Ekologi 2 plot, halaman Laboratorium Zoologi dan Botani 2 plot, halaman Dekanat FMIPA 1 plot, kawasan panjat dinding sebelah kiri 3 plot, sebelah kanan 2 plot, dan belakang 3 plot, area lapangan taekondow 5 plot, dan kawasan belakang FAPERIKA sebanyak 2 plot.
            Jenis vegetasi penutup tanah berupa semak diberi kode SmP(nomor plot), plot sampling diletakkan pada halaman Laboratorium Kimia Organik sebanyak 3 plot, halaman samping Laboratorium Kimia Anorganik 5 plot, taman Kobashi FMIPA 3 plot, halaman gedung perkuliahan FAPERIKA 5 plot, dan kawasan depan Arboretum 4 plot.
            Untuk jenis vegetasi penutup tanah berupa pohon tunggal diberi kode PtP(nomor plot),  keseluruhan plot sampling diletakkan pada halaman Stadion Mini dengan 5 plot di sebelah kanan dan 5 plot di sebelah kiri, 5 plot di luar pembatas lapangan bola sebelah kanan dan 5 plot di luar pembatas lapangan bola bagian belakang.
            Jenis vegetasi penutup tanah berupa pepohonan, diberi kode PoP(nomor plot), plot sampling diletakkan pada halaman samping Laboratorium Kimia Organik dan Anorganik sebanyak 3 plot, halaman depan Laboratorium Kimia Anorganik dan Analitik sebanyak 2 plot, bagian belakang Mushola FMIPA sebanyak 3 plot, Halaman Dekanat FMIPA 1 plot, kawasan Eukaliptus FISIP 5 plot, kawasan belakang FAPERIKA 1 plot, dan kawasan Arboretum 5 plot.
3.3.      Cara Pengumpulan Sampel
            Plot dibuat dengan ukuran 100 x 100 cm sehingga memiliki luas 1 m2. Jenis vegetasi penutup tanah berupa tumbuhan berkayu seperti semak, pohon tunggal dan pepohonan terdapat beberapa variasi jarak untuk peletakan plot seperti ±5 cm dari batang tumbuhan untuk jenis vegetasi penutup tanah berupa semak, ± 10 cm dari batang pohon untuk jenis vegetasi penutup tanah dan ± 15 cm dari batang pohon untuk jenis vegetasi penutup tanah pepohonan. Adanya perbedaan peletakan plot ini dikarenakan terdapatnya perbedaan ukuran pada masing-masing jenis vegetasi penutup tanah.
            Sampling kascing diambil menggunakan tangan (hand sorting method) (Suin 1997), kemudian dimasukkan ke dalam plastik wadah sampel yang telah diberi label dan tanggal pengambilan. Produksi kascing dipantau selama 50 hari berturut-turut dengan 10 pengambilan, dimana jarak antara satu waktu pengambilan kewaktu pengambilan berikutnya adalah 5 hari.
3.4.      Karakterisasi Kondisi Lingkungan
Karakteristik kondisi lingkungan pada masing-masing plot yang dilihat mencakup kondisi di atas permukaan tanah seperti jenis vegetasi penutup tanah dan kondisi dibawah permukaan tanah seperti bulk density tanah, massa akar, dan pH tanah untuk melihat pengaruhnya terhadap  aktifitas cacing tanah. Keberadaan cacing tanah di dalam tanah dilihat dengan melakukan penggalian tanah yaitu pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm.. Dilakukan pula pengambilan sampel tanah pada masing-masing plot pengambilan sampel kascing. Hal ini bertujuan untuk melihat kondisi dari tanah seperti kandungan C, N, P, K dan tekstur sebagai pembanding dengan sampel kascing.
3.5.      Cara Penanganan Sampel
            Sampel yang dibawa dari lapangan dikering-anginkan dengan wadah nampan di Laboratorium Ekologi FMIPA Universitas Riau selama 2 x 24 jam atau menurut kondisi sampel. Sampel yang banyak dan basah memerlukan waktu pengeringan lebih lama, namum selama penelitian ini pengeringan sampel tidak memakan waktu lebih dari 3 x 24 jam.
            Sampel yang telah kering dikemas di dalam wadah toples plastik dan disesuaikan dengan tanggal pengambilannya. Setelah pengambilan sampel selesai hingga pengambilan ke 10, sampel-sampel kascing mulai dari pengambilan pertama hingga terakhir dilihat dan dicocokkan kemudian dibandingkan dengan tanah tempat sampel kascing diambil untuk selanjutnya dianalisis kandungan C, N, P, K dan teksturnya.
3.6.      Analisis Kimia dan Fisika
3.6.1.   Analisis kandungan organik (C) dan kimia (N, P, K)
            Baik sampel tanah maupun kascing dianalisis kandungan organik dan kimianya. Kandungan organik dalam bentuk C organik dan kandungan kimia dalam bentuk N total, P total, P tersedia dan K total. Kadar kandungan C organik dianalisis dengan Metode Walkley & Black, N total dengan Metode Kjeldahl, P dan K total dengan menggunakan Metode Ekstrak HCL 25% dan P tersedia dengan Metode Olsen. Analisis Kandungan C, N, P, K tidak dilakukan secara pribadi. Sampel tanah dan kascing dikirim ke PT. Central Plantation Service (CPS) di Jl. Soebrantas, Panam, Pekanbaru.
3.6.2 Analisis fisik
Penentuan tekstur tanah dan kascing dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah FAPERTA Universitas Riau. Metode yang digunakan untuk menganalisis tekstur adalah Metode Pipet. Masing-masing sampel tanah dan kascing ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan kedalam beker glass 500 ml, kemudian ditambahkan 50 ml H2O2 10%. Beker glass tersebut ditutup dengan aluminium foil dan diamkan semalam. Selanjutnya dilakukan penambahkan 25 ml H2O2 30% dan dipanaskan diatas hot plate sampai busa/buihnya habis dan diamkan hingga dingin. Kemudian ditambahkan 180 ml aquades dan larutan HCL 2 N sebanyak 20 ml, panaskan diatas Hot Plate selama ± 10 menit lalu diamkan hingga dingin. Kemudian cuci dengan aquades hingga bebas asam (test kertas lakmus), setelah bebas asam lalu ditambahkan 10 ml larutan peptisator Na4P2O7 (Na-hexametaphosphate) 4%.
Pemisahan Pasir
Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan menggunakan saringan 500 mikron dan filtrat ditampung dengan bejana 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan ke cawan aluminium yang telah diketahui beratnya lalu dioven pada suhu 1050C selama 24 jam dan ditimbang, maka diperoleh berat pasir kering (berat pasir = A gram).
Pemisahan debu dan liat
Filtrat dalam bejana tadi dimasukkan ke dalam bekker glass dan diencerkan dengan aquades menjadi 500 ml. Kemudian diaduk selama 10 menit dan dipipet sebanyak 20 ml lalu dimasukkan kedalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya. Filtrat kemudian dioven pada suhu 1050C selama 24 jam lalu ditimbang, maka diperoleh berat kotor dari debu dan liat (berat debu + liat + peptisator = B gram).
Pemisahan liat dilakukan dengan cara mengaduk kembali filtrat dalam bejana tadi hingga homogen dan dibiarkan selama ± 3,5 jam. Selanjutnya suspensi liat dipipet sebanyak 20 ml lalu dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya. Suspensi liat kemudian dioven pada suhu 1050C selama 24 jam lalu ditimbang, maka diperoleh berat kotor liat (berat liat + peptisator = C gram).
Bobot Peptisator pada pemipetan 20 ml berdasarkan perhitungan adalah 0.0095. Jumlahnya yang sangat kecil sehingga biasanya sering diabaikan dalam proses penghitungan berat. Rumus perhitungan berat fraksi secara jelas dapat dilihat pada perhitungan di bawah. 
Perhitungan
Fraksi pasir      = A g
Fraksi debu     = 25 (B-C) g
Fraksi liat        = 25 (C) g
3.7.      Perhitungan Porositas
Banyaknya kascing yang dihasilkan digunakan sebagai pendekatan untuk menghitung persentase pori tanah. Semakin banyak produksi kascing berarti liang yang dibuat semakin banyak dan panjang sehingga pori tanah yang terbentuk juga meningkat. Perhitungan porositas dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan simulasi penghitungan volume kascing dengan Metode Volumetrik. Pada metode ini dimasukkan aquades ke dalam gelas ukur dan dilihat berapa volumenya. Setelah itu dimasukkan kascing yang telah diketahui massanya ke dalam gelas ukur tersebut lalu diukur berapa kenaikan volume airnya. Simulasi ini dilakukan sebanyak 50 kali pengulangan dengan massa kascing yang bervariasi. Dari hasil simulasi didapat persamaan y = 0.499x - 0.054. Persamaan ini digunakan dalam pergitungan volume dan panjang makropori dengan satuan volume makropori cm3/m2/tahun dan panjang makropori cm/m2/tahun.
3.8.        Analisis Data
              Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan program statistik SPSS versi 17.0, meliputi uji Anova satu arah (One-Way Anova), Analisis Korelasi dan Regresi dan Uji t-berpasangan serta program Minitab versi 16.0 untuk uji Analisis Komponen Utama.
3.8.1.     Anova satu arah (one-way anova)
              Anova satu arah digunakan untuk membandingkan jenis vegetasi penutup terhadap produksi kascing.
3.8.2.     Uji t-berpasangan
              Uji t-berpasangan digunakan untuk membandingkan rerata kandungan bahan organik dan kimia (C, N, P, K) antara kascing dan tanah pada plot sampling.
3.8.3.   Analisis komponen utama (principle componen analysis atau PCA)
Analisis ini digunakan untuk melihat pengaruh dari berbagai faktor yaitu pH tanah, bulk density dan massa akar secara sekaligus untuk diketahui signifikansi dari masing-masingnya terhadap produksi kascing.





DAFTAR PUSTAKA

Anas, I. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah (Penuntun Praktikum).       PAU – Bioteknologi IPB – Dirjen Dikti Depdikbud. 252 hal.

Anwar KE.2009. Efektifitas Cacing Tanah Pheretimahupiensis, Edrellus sp. dan Lumbricus sp. dalam Proses Dekomposisi Bahan Organik. Balai Penelitian Tanah :Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Volume 14 : 2 : 149-158.

Barley, K.P. & A.C. Junnings. 1958. Earthworm and Soil Fertility: III. The influence of eartworm on the availability of N. J. Agr. Res. 10:364-370.

Blakemore RJ. 2008. A Series of Searchable Text On Earthworm Biodiversity, Ecology, and Systematics From Various Regions of The World-3rd Edition. http://www.annelida.net/earthworm.  [28Februari 2011].

Buckman, H. O & N. C Brady. 1999. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. UGM Press. Yogyakarta. hlm. 64-66.

Capoweiz, Y. 2000. Difference in Burrowing behavior and Spatial Interaction Between The Two Earthworm Species Aporrectodea nocturna and Allobophora chlorotica. Biology and Fertility of Soil 27, 51,-59.

Dwiastuti, S. & Suntoro. 2011. Eksistensi Cacing Tanah pada Lingkungan Berbagai Sistem Budidaya Tanaman di Lahan Berkapur. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Edwards CA & Lofty JR. 1977.Biologi of Earthworms.Halsted Press, a Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.

Edward, C.A. 1980. “Interaksi antara Budidaya Pertanian dengan Cacing Tanah”. Dalam Anas 1990

Guild, W.F. 1955. “Earthworm and Soil Structure”. In Soil Zool.. Butterworths, London. 83-98.

Hakim, R. & B. Utomo. 2002. Komponen Perancangan Arsitektutr Lansekap. Jakarta : Bumi Aksara

Hanafiah, K.A. 2002. Ilmu Kesuburan dan  Penyuburan Tanah. Diktat PS Ilmu Tanah FP Unsri , Indralaya, Sumsel.

_____. 2010. Biologi Tanah: Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Rajawali  Pers. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.

_____. 2007. Ilmu Tanah. Akapres  Pers. Jakarta.

Lavelle, P. 1999. Eartworm Aktifities and the Soil System. Biol Fertile Soil 6: 237-251.

Minnich J. 1977. The Earthwom Book : How to Raise and Use Earthworms for Your Farm dan Garden. Rodale Press Emmaus. United States of America.

Muhammad, A. 2012. Profil Keanekaragaman Kota Pekanbaru. Laporan Penelitian. BLH. Kota Pekanbaru

Richard. 1978. “Introduction to the Soil Ecosystem”. Dalam Anas (1990)

Rusell, E. W. 1999. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific & Technical. New York: The United States with John &Sons. pp. 138-151.

Satchel, J.e. 1955. Some aspects of earthworm ecology. In Soil Zool., Butterwoths, London, pp. 180-201.

Simanjuntak, D. 2004. Manfaat Pupuk Organik Kascing dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Tanah dan Tanaman. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian 2: 5-9.

Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bandung : Bumi Aksara

Utaya, S. 2008. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Sifat Biofisik Tanah dan Kapasitas Infiltrasi di Kota Malang. Universitas Negri Malang. Malang
Wallwork, J. A. 2001. Ecology  of  Soil  Animal. Mc.Graw Hill Book Company. London.pp.58-74.
.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. GrahaIlmu. Yogyakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar