A.
Tuberkulosis
1. Definisi
Penyakit
Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya (Depkes,
2011).
2. Penyebab
Penyakit
Penyakit Tuberkulosis
adalah disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis (M.tuberculosis). M.tuberculosis
berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang
cukup tinggi (60%).
Penyusun utama
dinding sel M. tuberculosis ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut
cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester.
Unsur lain yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M. tuberculosis bersifat
tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol. Komponen antigen
ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan
protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal
(PDPI, 2002).
3. Gejala
Klinis
Menurut Depkes
RI (2011). Gejala penyakit tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara
klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
a. Batuk-batuk
selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
b. Demam
tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
c. Penurunan
nafsu makan dan berat badan.
d. Perasaan
tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
a. Tergantung
dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
b. Kalau
ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
c. Bila
mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
d. Pada
anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak
yang tidak menimbulkan gejala, tuberkulosis dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa. Kira-kira 30 50% anak yang
kontak dengan penderita tuberkulosis dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
tuberkulosis dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.
4. Diagnosis
Menurut Depkes RI (2011) diagnosis
penyakit Tuberkulosis Sebagai berikut :
Diagnosis TB paru
a. Semua
suspek tuberkulosis diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis
tuberkulosis pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
c. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB ekstra paru
a. Gejala
dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
5. Penularan
Menurut Depkes RI (2011) Peenularan
penyakit Tuberkulosis adalah sebagai Berikut :
a. Cara
penularan
1. Sumber
penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
3. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
5. Faktor
yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
b.
Risiko penularan
1.
Risiko tertular tergantung dari tingkat
pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB dengan BTA negatif.
2.
Risiko penularan setiap tahunnya di
tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3.
Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi
antara 1-3%.
4.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
6. Pengobatan
Riwayat
pengobatan TB telah dimulai sebelum Robert Koch menemukan basil Tuberkulosis pada
tahun 1882 dengan didirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat, masa ini
dikenal sebagai battle against symptom. Sanatorium-sanatorium tersebut
didirikan untuk tempat merawat pasien yang diduga menderita TB agar tidak
menularkan kuman TB pada orang disekitarnya. Setelah itu berkembang pula upaya
pembedahan yang dikenal dengan masa battle against cavity. Pada tahun
1990-an barulah ditemukan Streptomisin, Isoniasid (INH), Pyrazinamid, Etambutol
dan Rifampisin, yang dikenal dengan era battle
against TB bacily (Aditama, 2002).
Dasar
pengobatannya terdiri dari dua fase, yaitu fase awal (intensif) dan fase
lanjutan. Pada fase intensif obat diminum setiap hari dengan pengawasan
langsung, sedangkan fase lanjutan obat diminum seminggu tiga kali, kecuali
untuk anak, OAT diminum setiap hari. Prinsip pengobatannya, yaitu dengan
menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat
selama enam – delapan bulan (Depkes RI,
2011).
Obat yang
dipakai dalam program pemberantasan TB sesuai dengan rekomendasi WHO berupa
paduan obat jangka pendek yang terdiri dari tiga kategori, setiap kategori
terdiri dari dua fase pemberian yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan.
Obat yang biasa digunakan yaitu dosis Kombipak, yang tersedia untuk penderita
dengan berat badan 33–50 kg. Untuk
penderita dengan berat badan selain 33–50 kg, dosisnya supaya disesuaikan
(Depkes RI, 2011). Paduan OAT dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel
2.1 . Pengobatan TB yang dianjurkan WHO
Kategori
|
Rumus
|
Indikasi
|
Tahap Intensif
|
Tahap Lanjutan
|
I
|
2HRZE/ 4H3R3
|
· Penderita baru
BTA positif
· Penderita baru
TB Paru BTA negatif foto toraks positif”
· Penderita TB
Paru ekstra berat.
|
Waktu 2 bulan,
frekuensi 1 kali menelan obat jumlah 56 kali menelan obat.
|
Waktu 4 bulan
frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 48 kali menelan obat
|
II
|
2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3
|
· Penderita
kambuh (relaps)
· Penderita
gagal
· penderita
dengan pengobatan setelah putus berobat
|
· Selama 2 bulan
pertama frekuensi 1 kali sehari, jumlah 56 kalimenelan obat.
· Satu bulan
berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 28 kali menelan obat
|
Selama 5
bulan, 3kali seminggu, jumlah total 60 kali menelan obat.
|
III
|
2HRZ/ 4H3R3
|
· Penderita baru
BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan.
· Penderita
ekstra paru ringan yaitu: TB kelenjar limfe (limfadenitis), Pleuritis
eksudatif unilateral,TB kulit,TB tulang, sendi dan kelenjar adrenal.
|
Waktu 2 bulan,
frekuensi 1 kali menelan obat jumlah 56 kali menelan obat.
|
Waktu 4 bulan
frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 48 kali menelan obat
|
Sumber: Depkes RI, 2011
Panduan
Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir
tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau
penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan
dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1
bulan atau sebanyak 28 obat/hari (Depkes RI, 2011).
7. Pencegahan
Menurut Hiswani, (2006) tindakan
pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, dan petugas kesehatan.
a. Pengawasan
penderita, Kontak, dan Lingkungan
1.
Oleh penderita, dapat dilakukan dengan
menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.
2.
Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan
meningkatkan pencegahan terhadap bayi
dengan diberikan vaksinasi Bacillus
Calmatto Guenin (BCG).
3.
Oleh petugas kesehatan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya.
4.
Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang
yang terinfeksi, pengobatan khusus tuberkulosis. Pengobatan mondok di rumah
sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan
program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk
tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5.
Des-Infeksi, cuci tangan dan tata rumah
tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan
ludah (piring, tempat tidur, dan pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari
yang cukup.
6.
Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan
pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas
kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak
lanjut bagi yang positif tertular.
7.
Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota
keluarga dengan foto rontgen yang
bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap
bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8.
Pengobatan khusus. Penderita dengan tuberkulosis
aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obatan kombinasi yang telah ditetapkan
oleh dokter diminumj dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12
bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan
penyelidikan dokter.
b. Tindakan
Pencegahan
1.
Status sosial ekonomi rendah merupakan
faktor seseorang bisa menjadi sakit, seperti keadaan kepadatan hunian.
2.
Tersedia sarana-sarana kedokteran,
pemeriksaan penderita, kontak atau sering dilaporkan pemeriksaan dan pengobatan
dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
3.
Pengobatan preventif, diartikan sebagai
tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH
sebagai pencegahan.
4.
BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama
kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun
kemudian. Pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
5.
Memberantas tuberkulosis pada pemerah
air susu dan tukang potong sapi dan pasteurisasi air susu sapi
6.
Tindakan mencegah bahayan penyakit paru
kronis karena menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja
semen, dan sebagainya.
7.
Pemeriksaan bakteriologis dahak pada
orang dengan gejala tuberkulosis.
8.
Pemeriksaan screening dengan tuberculin-test
pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah
sakit, petugas/guru sekolah, petugas foto rontgen.
9.
Pemeriksaan foto rontgen pada
orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin-test.
Menurut
Mandal, et all (2008). Pencegahan
penyakit Tuberkulosis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Perlindungan
terbaik melawan tuberkulosis adalah diagnosis dan pengobatan yang efisien untuk
orang dengan infeksi aktif. Tuberkulosis dalam segala bentuk merupakan penyakit
yang harus dilaporkan.
2. Orang
yang kontak erat dengan pasien penyakit Tuberkulosis harus mendapatkan status
klinis dan status BCG-nya, menjalani tes kulit tuberculin (biasanya Heaf), dan
memerlukan penilaian secara radiologis. Tujuan penelusuran kontak adalah untuk
mengidentifikasi kemungkinan kasus dengan penyakit klinis, kasus lain yang
teridentifikasi oleh pasien yang sama (dengan atau tanpa bukti penyakit), dan
orang yang berkontak erat harus mendapatkan BCG.
3. Tes
kulit tuberculin indermal biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik Heaf dan
Mantoux. Responnya dibagi dalam kelompok (misalnya derajat Heaf 0-4)
berdasarkan derajat indurasi. Uji ini digunakan untuk menilai apakah seseorang
telah mendapatkan M.tuberculosis setelah
pajanan, dan berguna pada pasien yang tidak diimunisasi dengan BCG. Uji ini
juga digunakan sebagai praimunisasi BCG untuk menilai apakah seseorang telah
mengalami tuberkulosis primer subklinis sebelumnya. Interpretasi menjadi lebih
sulit pada orang yang divaksinasi BCG karena memang diharapkan ada reaksi
positif ringan.
4. Kemoprofilaksis
diberikan untuk mencegah infeksi yangberlanjut menjadi penyakit klinis.
Kemoprofilaksis direkomendasikan untuk anak berusia <16 tahun dengan tes
Heaf positif kuat, untuk anak berusia <2 tahun yang mengalami kontak erat
dengan ppenyakit paru apusan positif, untuk pasien yang konversi tuberculin
terbarunya telah dikonfirmasi, dan untuk bayi dari ibu dengan tuberkulosis
paru. Terapi ini harus dipertimbangkan untuk orang terinfeksi HIV yang berkontak
erat dengan pasien yang mempunyai epenyakit dengan apusan positif. Rifamisin
dan isoniazid selama 3 bulan, atau isoniazid selama 6 bulan seluruhnya efektif.
5. BCG
digunakan pada beberapa negara sebagai tindakan perlindungan untuk infeksi
mikobakterium. Vaksinasi ini memberikan kira-kira 80% perlindungan selama 10-15
tahun dan merupakan yang paling baik untuk mencegah penyakit diseminata pada
anak. Karena BCG bernilai diagnostic potensial untuk melihat infeksi primer
sebelumnya, maka beberapa negara tidak menggunakannya.
6. Komplikasi
yang kadang-kadang terjadi adalah abses BCG lokal, dan infeksi BCG diseminata
pada pasien immunocom-promised.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar